Pro Kontra Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Pengamat Minta Sejarah Dibaca Utuh
Acos Abdul Qodir November 09, 2025 01:31 AM
Ringkasan Berita:
  • Pengamat minta publik tak hanya menilai Soeharto dari sisi gelap Orde Baru.
  • LBH Pers dan tokoh agama sebut gelar pahlawan sebagai pengkhianatan sejarah.
  • Usulan gelar ini dinilai bisa menghapus luka korban dan membungkam kritik publik.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto kembali memicu perdebatan publik. Sejumlah tokoh menilai jasa Soeharto terhadap pembangunan nasional layak diakui, sementara kelompok masyarakat sipil menyebut usulan tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi.

Direktur Eksekutif ToBe Institute, Mochamad Imamudin Salam, meminta publik menilai wacana ini secara objektif dan tidak hanya melihat sisi negatif dari masa pemerintahan Soeharto.

“Kita harus membaca sejarah dengan kepala dingin dan perspektif utuh. Soeharto adalah bagian penting dari perjalanan republik ini, dengan kontribusi besar terhadap pembangunan nasional," kata Imamudin di Jakarta Pusat, Sabtu (8/11/2025).

Menurut Imam, kepemimpinan Soeharto berlangsung di tengah situasi politik yang penuh ancaman. Ia menyinggung peran Soeharto dalam mempertahankan Yogyakarta pasca-kemerdekaan, operasi penumpasan G30S/PKI, hingga kebijakan pembangunan lewat Supersemar.

"Pelanggaran HAM memang harus jadi pelajaran, tapi itu tidak otomatis menghapus jasa seseorang terhadap bangsa. Kita tidak bisa menulis ulang sejarah dengan menghapus kontribusi yang terbukti membawa Indonesia menuju stabilitas,” tegasnya.

Terkait tudingan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di masa Orde Baru, Imam menilai hal itu sebagai fenomena struktural yang juga terjadi di banyak negara berkembang.

"Program swasembada pangan, pembangunan desa, peningkatan kesejahteraan petani, sampai kebijakan ekonomi pro-rakyat itu semua tidak bisa diabaikan,” jelasnya.

Imam menolak anggapan bahwa pemberian gelar pahlawan berarti “memutihkan” sejarah.

“Gelar pahlawan bukan penghapus dosa sejarah, tapi pengakuan atas jasa besar seseorang terhadap bangsa. Kalau standar kita kesempurnaan moral, maka tak ada yang layak disebut pahlawan,” ujarnya.

Ia juga menyebut usulan Soeharto jadi Pahlawan Nasional sudah beberapa kali muncul sejak 2008 dan mendapat dukungan sebagian besar anggota DPR serta tokoh nasional.

"Usulan itu sudah berkali-kali diajukan—2008, 2010, 2015, dan 2016. Sebagian besar DPR juga setuju. Jadi mau apalagi,” ucapnya.

Sebagai informasi, ToBe Institute yang dipimpin Imam adalah lembaga pelatihan yang fokus pada penguatan nilai kebangsaan dan kepemimpinan strategis, dan telah beberapa kali bekerja sama dengan Lemhannas RI.

Gelar Pahlawan Dinilai Mengkhianati Semangat Reformasi

Meski sejumlah tokoh menekankan pentingnya membaca sejarah secara utuh, gelombang penolakan terhadap usulan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto terus menguat.

Kelompok masyarakat sipil, tokoh agama, dan lembaga advokasi menilai wacana tersebut berpotensi mengabaikan luka sejarah dan semangat reformasi 1998.

Penolakan datang dari Gerakan Masyarakat Adili Soeharto dan Koalisi Masyarakat Sipil, yang menggelar aksi di depan Kementerian Kebudayaan RI, Kamis (6/11/2025).

Mereka menyebut pemberian gelar sebagai bentuk pengkhianatan terhadap korban pelanggaran HAM dan nilai-nilai demokrasi.

"Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto adalah pengkhianatan terhadap korban pelanggaran HAM dan semangat reformasi 1998,” ungkap perwakilan koalisi dalam pernyataannya.

Mustasyar Pengurus Nahdaltul Ulama (PBNU), KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), menyatakan penolakannya secara tegas. Ia mengenang masa Orde Baru sebagai periode yang menyisakan luka bagi banyak ulama dan kiai pesantren.

“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional. Masa pemerintahannya penuh tekanan terhadap kebebasan dan keadilan,” ujar Gus Mus, Mustasyar PBNU, Rabu (5/11/2025).

Dari Muhammadiyah, penolakan dan kritik datang dari pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Usman Hamid.

Ia menilai gelar kepahlawanan harus mempertimbangkan aspek moral dan keadilan sosial.

“Pahlawan bukan hanya soal pembangunan fisik, tapi juga nilai-nilai kemanusiaan. Kita tidak bisa mengabaikan pelanggaran HAM yang terjadi di era Orde Baru,” kata Usman Hamid, Jumat (7/11/2025).

Sementara itu, Direktur LBH Pers Mustafa Layong menyoroti dampak wacana ini terhadap kebebasan berekspresi. Ia menyebut Soeharto sebagai simbol pembungkaman pers di masa Orde Baru.

“Bagaimana mungkin orang yang membungkam pers dijadikan pahlawan? Itu sama saja menampar perjuangan jurnalis dan masyarakat sipil yang berkorban untuk kebebasan,” ujar Mustafa dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (7/11/2025).

Ia menambahkan, pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan berisiko memutarbalikkan sejarah dan mengancam ruang kritik di masa kini.

“Kalau Soeharto disebut pahlawan, nanti mengkritiknya bisa dianggap menghina Pahlawan Nasional. Ini berbahaya bagi demokrasi,” tegasnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.