Grid.ID- Pemerintah China bebaskan warganya menikah di mana saja. Hal ini sebagai upaya naikkan angka pernikahan.
Pemerintah China kini aktif mendorong warga untuk menikah dengan mengaitkan pernikahan sebagai bagian dari pariwisata. Sejak Mei 2025, pasangan dapat menikah di mana saja di seluruh negeri tanpa harus kembali ke tempat tinggal asal untuk pencatatan resmi.
Kebijakan ini memacu pemerintah daerah untuk menciptakan “venue pernikahan” yang unik dan menarik. Kantor pencatatan pernikahan kini hadir di lokasi-lokasi tidak biasa, mulai dari taman, pusat perbelanjaan, puncak gunung bersalju, hingga kelab malam.
Data kuartal ketiga 2025 menunjukkan jumlah pernikahan di China naik 22,5 persen dibanding tahun sebelumnya, mencapai 1,61 juta pasangan. Kenaikan ini memberi indikasi bahwa tren penurunan yang berlangsung lebih dari satu dekade mulai melambat.
Tahun sebelumnya, jumlah pernikahan justru menurun 20,5 persen menjadi 6,1 juta pasangan, rekor penurunan tahunan terbesar di negara tersebut. Kreativitas pemerintah daerah membuat pilihan lokasi pernikahan semakin beragam dan menarik bagi pasangan muda.
Di Kota Nanjing, misalnya, pasangan bisa menikah di Kuil Konfusius dengan upacara yang terinspirasi dari Dinasti Ming. Sementara di Chengdu, kantor catatan sipil dibuka di Gunung Salju Xiling pada ketinggian lebih dari 3.000 meter.
Di Hefei, pemerintah menyediakan loket pernikahan di stasiun bawah tanah bernama Xingfuba, yang berarti “tempat kebahagiaan.” Sedangkan di Shanghai, pasangan bisa mengambil sertifikat nikah di kelab malam melalui kerja sama INS Park dan Biro Urusan Sipil Distrik Huangpu.
Meski kebijakan ini membawa angin segar bagi angka pernikahan, para ahli demografi menilai efeknya mungkin hanya sementara. Yi Fuxian dari University of Wisconsin-Madison mengatakan penghapusan batas geografis memang mempermudah pernikahan, tetapi dampak positifnya bisa “bersifat sementara.”
Menurut Yi, penurunan populasi tetap menjadi tantangan yang serius bagi China. Dia memproyeksikan jumlah perempuan usia 20–34 tahun akan menurun hampir setengahnya menjadi 58 juta pada tahun 2050.
“Perempuan muda dan orang tua mereka kini lebih mengutamakan pendidikan serta kemandirian ekonomi ketimbang menikah, sejalan dengan tren global,” ujar Yi, dilansir dari Kompas.com.
Adapun, China sebagai negara dengan populasi terbesar kedua di dunia, mencapai 1,4 miliar jiwa, kini menghadapi populasi yang menua dengan cepat. Kebijakan satu anak antara 1980–2015, ditambah urbanisasi pesat, telah menekan angka kelahiran secara signifikan.
Diperkirakan sekitar 300 juta warga China akan memasuki usia pensiun dalam beberapa tahun mendatang. Menanggapi hal ini, pemerintah meminta universitas menyediakan “pendidikan cinta” untuk menumbuhkan pandangan positif tentang pernikahan, keluarga, dan kesuburan.
Selain itu, kabinet China pada November lalu meminta pemerintah daerah menyalurkan sumber daya untuk memperbaiki krisis populasi dan mempromosikan pernikahan pada usia yang sesuai. Meskipun terjadi sedikit peningkatan kelahiran karena tahun naga dalam kalender Cina, populasi tetap menurun untuk tahun ketiga berturut-turut.
Melasnir dari Serambinews.com, lebih dari 2,6 juta pasangan mengajukan perceraian tahun lalu, meningkat 1,1 persen dibanding 2023. Hal ini menandakan masalah demografi China tidak hanya terkait kelahiran, tetapi juga keputusan sosial mengenai menikah dan bertahan dalam pernikahan.
Cara pemerintah, mulai dari edukasi hingga kebijakan lokal, diarahkan untuk membalikkan tren penurunan angka pernikahan. Namun, tantangan ekonomi dan perubahan prioritas generasi muda tetap menjadi hambatan utama dalam upaya naikkan angka pernikahan ini.
Pakar demografi menekankan bahwa keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada perubahan perilaku sosial. Jika generasi muda tetap memprioritaskan pendidikan dan karier, angka pernikahan kemungkinan besar tidak akan meningkat signifikan.
Masalah ini menjadi perhatian serius karena penurunan angka pernikahan berimplikasi luas pada ekonomi, pasar tenaga kerja, dan keseimbangan demografis China. Pemerintah harus menemukan strategi jangka panjang untuk mengatasi tantangan ini agar populasi tetap stabil.