BANJARMASINPOST.CO.ID- SEBUAH kontradiksi tampak dalam situasi keuangan di level pemerintahan daerah di Indonesia. Di satu sisi, para kepala daerah langsung bereaksi dan melakukan gerak cepat kala mendengar kabar bahwa aliran dana dari pusat ke daerah bakal dipangkas.
Mereka ramai-ramai mendatangi kantor Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa di Jakarta saat muncul wacana pemotongan dana transfer daerah (TKD).
Lobi-lobi dilakukan oleh sejumlah kepala daerah agar TKD maupun dana bagi hasil (DBH) untuk provinsinya tak dipangkas terlampau besar. Sedangkan di sisi lain, fakta penyerapan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di sejumlah daerah masih belum optimal, tak terkecuali di Kalimantan Selatan (Kalsel) .
Dalam rapat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada Senin (10/11/2025) yang dipimpin Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kalsel, M Alpiya Rakhman terungkap, APBD Kalsel baru terserap sebesar 43 persen. Artinya, sebagian besar atau 57 persen sisanya belum terserap.
Perwakilan dari sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang mengikuti rapat termasuk perwakilan dari Dinas PUPR, Pendidikan, Kesehatan dan Dinas Sosial punya alasan masing-masing mengapa porsi anggaran mereka belum terserap dengan baik.
Pihak PUPR menyebut masih ada sejumlah proyek besar yang masih dalam tahap pengerjaan.
Perwakilan Dinas Sosial menyebut, sejumlah pencairan dana bantuan sosial masih terkendala hal teknis termasuk kelengkapan proposal dari pihak pemohon.
Ada pula SKPD yang masih menunggu rampungnya pemeriksaan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI sebelum bisa kembali membelanjakan APBD. Padahal diketahui, sisa waktu efektif pelaksanaan anggaran di tahun 2025 tersisa tak sampai dua bulan lagi.
M Alpiya bahkan memperhitungkan, jika seluruh SKPD bekerja keras di waktu tersisa, masih akan ada Rp1,2 triliun anggaran yang kemungkinan tak terserap.
Jika melihat kendala yang muncul dalam penyerapan anggaran di daerah, tak sedikit merupakan kendala teknis.
Harapannya kendala yang seolah jadi langganan tahunan itu tak lagi muncul atau setidaknya bisa cepat diselesaikan dengan keseriusan dan kemauan kuat dari pemangku kepentingan demi membangun daerah.
Tentu masyarakat Banua mengharapkan pembangunan di berbagai bidang bisa digerakkan oleh APBD sebagai komponen utamanya.
Di sisi lain, atmosfer pengelolaan keuangan pemerintah di Indonesia tengah berubah seiring duduknya Purbaya Yudhi Sadewa di kursi Menteri Keuangan RI.
Ia tengah menyoroti tentang adanya pengendapan dana besar milik daerah di sejumlah perbankan, juga dugaan permainan terkait hasil bunga dari dana daerah yang mengendap.
Langkah itu seolah membuat masyarakat di daerah lebih melek dan kritis akan pengelolaan keuangan di daerahnya masing-masing. (*)