TRIBUNJATENG.COM, UNGARAN - Benteng di Ambarawa yang terbengkelai selama bertahun-tahun kini menjadi destinasi wisata baru yang memikat.
Benteng tersebut merupakan peninggalan Belanda, yang dibangun pada abad ke-19.
Hujan yang turun sejak siang hingga sore, Minggu (16/11/2025), tak mampu meredam antusiasme warga untuk memadati kompleks Fort Willem I atau Benteng Pendem Ambarawa, Kabupaten Semarang.
Benteng peninggalan abad ke-19 itu terbuka gratis untuk umum selama akhir pekan, sehari sebelum dibuka secara resmi, pada Senin (17/11/2025) hari ini.
Dari kejauhan, bangunan kolonial berarsitektur klasik Eropa itu tampak memancarkan cahaya kuning hangat dari lorong-lorong arcadenya.
Dinding putihnya berkilau, seolah memperlihatkan wajah baru benteng yang selama bertahun-tahun hanya dikenal sebagai bangunan tua terbengkalai di sudut Ambarawa.
Benteng Fort Willem I, dibangun pada 1834 dan selesai pada 1845, atas inisiatif Gubernur Jenderal Van Den Bosch.
Benteng itu merupakan hasil rancangan seorang insinyur zeni, Kolonel Van Der Wijck, dengan nama awal Fort Toentang atau Benteng Tuntang.
Benteng terletak di Bugisari, Lodoyong, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, tak jauh dari Museum Kereta Api (KA) Ambarawa.
Untuk menuju lokasi, pengunjung dari wilayah Kota Semarang dapat menempuh perjalanan kurang lebih 40 kilometer atau kurang lebih 60 menit melalui jalur paling mudah, yakni Jalan Tol Semarang–Solo atau Tol Ungaran–Bawen.
Setelah keluar dari tol dan memasuki Jalan Lingkar Ambarawa (JLA), pengunjung akan menemukan tanda yang menjadi akses masuk menuju kompleks bangunan benteng itu.
Jika dari arah pusat Kota Ambarawa atau dekat RSUD dr Gunawan Mangunkusumo, kendaraan diarahkan melalui jalan lingkungan yang relatif sempit, seperti Jalan Kyai Mahfudh Salam atau Jalan Benteng Dalam, sebelum akhirnya tiba di area parkir Fort Willem I.
Revitalisasi total
Meski sebagian wilayahnya masih menjadi area Lapas Kelas IIA Ambarawa, bagian utara yang telah direvitalisasi berubah total menjadi ruang sejarah yang hidup.
Begitu melewati gerbang lengkung yang kokoh, pengunjung disambut lorong-lorong panjang dengan deretan jendela melengkung berbingkai coklat tua.
Dulu, lorong ini gelap, lembap, dan hanya batu bata merah yang tampak.
Kini, revitalisasi membuatnya tampak seperti bangunan Eropa klasik dengan tekstur asli yang tetap dipertahankan.
Di beberapa sudut, dinding bata yang sengaja dibiarkan terlihat menjadi penanda usia dan otentisitas.
Yang paling membuat pengunjung berhenti dan mengangkat kamera ponsel adalah jalur ikonik yang diapit dua bangunan besar, A8a dan A9.
Jalan yang dulunya berupa tanah becek kini telah dipasang lantai batu yang licin mengkilap karena hujan, menciptakan pantulan cahaya yang membuat tempat itu tampak seperti set film sejarah.
Suasana makin terasa seperti perpaduan sejarah dan modernitas ketika lampu-lampu sorot kuning mulai menyala.
Plang penunjuk arah menuju sejumlah bangunan lain juga terpasang rapi.
Seorang pengunjung, Neva (21), warga Desa Pasekan, Kecamatan Ambarawa, tampak memotret dan berjalan keliling bangunan.
Ekspresi wajahnya tak menyembunyikan rasa takjub.
“Saya sudah keliling semua. Yang paling bagus ya spot ini, yang jalan di antara dua gedung, ikonik dari dulu.” Kata Neva kepada Tribun Jateng.
“Saya tidak menyangka bisa sebagus ini, dulu jalan ini becek, sekarang bersih, bangunannya dicat putih,” sambungnya.
Sementara itu, Dian (27), yang datang bersama Neva, mengaku sudah dua kali datang sejak area revitalisasi dibuka informal.
“Saya tahu ini buka karena rumah saya dekat sini. Ke depannya mau ke sini lagi, pengin coba cafenya,” kata Dian.
Bentuk otentik
Proses panjang di balik wajah baru benteng ini dijelaskan oleh Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Semarang, Tri Subekso.
Beberapa waktu sebelumnya, dia menegaskan, revitalisasi dilakukan dengan sangat hati-hati dan tetap mengedepankan prinsip pelestarian cagar budaya.
“Kami berperan sebagai satu di antara tim teknis. Revitalisasi ini tidak sekadar mempercantik, tetapi mengembalikan bentuk otentik Fort Willem I sebagaimana aslinya,” ungkap Tri.
Dia menyebutkan, terdapat sekitar 30 bangunan di dalam kompleks benteng, masing-masing dengan kondisi kerusakan berbeda yang memerlukan teknik pemulihan khusus.
“Kami menutup dinding yang terkelupas dengan plester khusus sesuai rekomendasi. Bahannya kami sesuaikan agar menyerupai aslinya, bukan bangunan baru yang meniru,” imbuh dia.
Tri berharap, masyarakat dapat memahami proses revitalisasi yang dilakukan, tidak hanya mempercantik namun juga mengembalikan ke bentuk aslinya sesuai hasil penelitian.
“Kalau ada yang mengkritik kenapa ada bangunan yang temboknya berwarna putih, justru hasil penelitian menunjukkan bahwa aslinya memang seperti itu,” imbuhnya. (Reza Gustav)