Hari-hari Terakhir
Irfani Rahman November 17, 2025 07:31 AM

Mujiburrahman

Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin

BANJARMASINPOST.CO.ID- SEJAK 13 Oktober 2025 lalu, tanpa saya duga, jabatan saya sebagai rektor diperpanjang. Baru sebulan kemudian, 12 November 2025, Rektor UIN Antasari yang baru, Prof. Dr. Nida Mufidah, M.Pd, dilantik. Selama masa penantian itu, saya mencoba menghayati makna hadis populer berbunyi: “Bekerjalah untuk duniamu, seolah-olah kau hidup selamanya. Bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kau mati besok hari". Hari ke hari, saya dan teman-teman, termasuk Prof. Nida Mufidah sebagai wakil rektor, mencoba menyelesaikan apa yang bisa kami selesaikan.

Meskipun kualitas hadis di atas dapat diperdebatkan, bagi saya pesan yang dikandungnya sangat menarik untuk direnungkan. Kesan yang langsung muncul dalam pikiran adalah, menurut hadis itu, apapun yang kita kerjakan, janganlah setengah-setengah. Kita harus totalitas dalam bekerja. Kita wajib berusaha maksimal dan berbuat yang terbaik, sejauh kemampuan kita, entah itu urusan dunia atau akhirat. Orang yang cinta dunia tentu berkhayal, seolah dia akan hidup selamanya, sehingga dia terus mengejar dunia. Sebaliknya, orang yang ingat mati, akan beramal maksimal untuk akhirat.

Di sisi lain, bukankah dunia dan akhirat itu biasanya bertentangan? Orang yang mengejar dunia seperti kenikmatan, kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran, akan melupakan dan tidak peduli dengan akhirat. Sebaliknya, orang yang ingat mati dan sadar bahwa semua perbuatan baik dan buruk akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat, akan berhati-hati dengan segala kenikmatan dunia yang menipu dan memanjakan hawa nafsu. Jika demikian, maka bagian pertama dan kedua hadis ini tak bisa digabungkan karena keduanya bertentangan. Apakah kita harus memilih salah satu?

Namun, boleh jadi tak ada pertentangan dalam hadis itu. Ungkapan “seolah-olah hidup selamanya” menunjukkan kesadaran bahwa kita tak mungkin hidup selamanya. Karena itu, kita harus berbuat apapun yang baik di dunia ini, yang bisa bertahan lama, hingga melebihi usia kita. Yang bisa “selamanya” itu adalah dampak, akibat, manfaat atau hasil dari perbuatan kita. Yang bermanfaat berarti yang mendatangkan kebaikan bagi diri sendiri, masyarakat, dan lingkungan. Misalnya, hari ini kita menanam sebatang pohon yang baru tumbuh besar dan berbuah setelah kita mati kelak.

Adapun “seolah-olah mati besok hari” adalah ungkapan yang menggambarkan situasi mepet, darurat dan mendesak. Kita semua pasti akan mati, namun kita tak tau kapan ia tiba. Jika kita bayangkan maut akan menjemput kita besok hari, berarti kita sudah tak punya banyak waktu untuk berleha-leha. Kita harus pandai memilih apa saja kebaikan yang diutamakan untuk dikerjakan dalam hidup ini, lalu segera ditindaklanjuti tanpa menunda-nunda. Rasa mendesak itu semakin kuat karena akhirat itu, menurut kepercayaan kita, adalah abadi, yakni kita di sana akan “hidup selamanya”.

Dengan demikian, ungkapan pertama tentang dunia, dan yang kedua tentang akhirat dalam hadis di atas dapat bertemu dan tidak bertentangan. Mungkin pertemuan itu tergambar dalam hadis yang juga populer, yang menyatakan: “Apabila anak Adam mati, maka nilai amalnya akan terputus kecuali tiga: sumbangan sosial, ilmu yang bermanfaat, atau anak yang saleh, yang mendoakannya”. Tiga jenis amal kebaikan ini dapat dianggap sebagai “beramal untuk dunia seolah hidup selamanya” karena  dampaknya langgeng di dunia bagi orang lain, dan langgeng juga bagi pelakunya di akhirat.

Jika kita bandingkan lagi antara ungkapan “hidup selamanya” di dunia, dan “mati besok hari”, maka yang kedua sesungguhnya lebih nyata, tetapi kita justru sering lupa dan terlena. Hidup selamanya di dunia ini sudah pasti mustahil, sedangkan “mati besok hari” mengandung dua makna, yakni mati itu pasti, dan besok hari itu mungkin. Karena itu, pesan hadis ini tampaknya lebih menekankan yang kedua ketimbang yang pertama. Alqur’an (QS 28:77) sendiri menyatakan, “Dan harapkanlah dari apa yang Allah berikan kepadamu untuk negeri akhirat, dan janganlah kau lupa bagianmu dari dunia.”

Mengapa titik tekan pada akhirat? Karena manusia ini, tanpa disuruhpun, lebih-lebih di zaman sekarang yang sangat materialistis, akan berebut mengejar kenikmatan dunia seolah ia akan hidup selamanya. Seiring dengan itu, manusia seringkali lalai akan kematian dan kehidupan akhirat. Inilah sebabnya, hadis-hadis tentang kesementaraan hidup di dunia cukup banyak. Misalnya, “Jadilah kau di dunia ini laksana orang asing atau penyeberang jalan”. Begitu pula, agar orang dapat khusyu’, penuh konsentrasi dalam salat, Nabi bersabda, “Salatlah kau seperti salat perpisahan”.

Saya kembali teringat bahwa pada 11 Oktober 2025, saya sudah selesai berkemas-kemas, dan sore harinya sudah melaksanakan perpisahan. Karena perpanjangan, saya akhirnya tetap masuk kerja, sambil menunggu hari pelantikan rektor baru yang misteri. Selama sebulan itu, lumayan banyak yang sempat kami selesaikan. Bahkan, dua hari sebelum pelantikan, saya masih berkegiatan di Jakarta, yakni Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VIII DPRRI dan esok harinya acara penandatanganan MoU dengan Kementerian Haji dan Umrah. Hari terakhir, saya hadir di acara pelantikan rektor baru.

Meski begitu, tentu masih saja ada tugas yang belum tuntas. Namun, kami tak menyesal karena sudah berusaha sebisa mungkin menyelesaikan apa yang bisa. Selanjutnya, kami serahkan amanah kepada rektor baru dan kawan-kawan. Selamat bekerja, Prof. Nida Mufidah. Teruslah berjuang untuk kebaikan. Semoga sehat selalu, amanah, istikamah, dan suskes membawa UIN Antasari lebih maju dan bermanfaat bagi masyarakat. Amin. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.