Tak Bisa Nikahi Pasangan yang Beda Agama, Pria Ini Gugat UU Perkawinan ke MK
kumparanNEWS November 17, 2025 10:21 PM
Seorang pegawai negeri sipil, Muhamad Anugrah Firmansyah, mengajukan gugatan uji materiil UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau UU Perkawinan.
Dalam gugatannya itu, pria yang karib disapa Ega itu bertindak untuk dan atas nama sendiri dengan menggugat Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Berikut bunyinya:
"Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."
Dalam permohonannya, Ega yang menganut agama Islam menyatakan bahwa dirinya telah menjalin hubungan selama 2 tahun dengan seorang perempuan beragama Kristen.
Ia menekankan, hubungan itu dijalani dengan saling menghormati keyakinan masing-masing, telah berkenalan antarkeluarga, dan komitmen untuk melangsungkan pernikahan. Ega mengaku mengalami kerugian konstitusional dengan ketentuan dalam UU tersebut.
"Ketentuan a quo tidak menjelaskan secara jelas dan tegas perkawinan dalam konteks pencatatan perkawinan antara pasangan yang memiliki agama berbeda, sehingga menimbulkan ketidakjelasan norma dan multitafsir yang berakibat pada ketidakpastian hukum," ujar Ega dalam permohonannya dikutip dari situs MK, Senin (17/11).
Menurutnya, pasal itu telah dimaknai sebagai larangan pencatatan bagi pasangan yang melangsungkan pernikahan beda agama. Ia menyebut, norma pasal tersebut seolah-olah hanya pernikahan pasangan seagama yang dapat dicatatkan.
"Penafsiran demikian berimplikasi langsung pada tertutupnya akses pencatatan perkawinan antaragama," tutur dia.
Pemohon saat Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 212/PUU-XXIII/2025 Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (12/11/2025). Foto: Mahkamah Konstusi RI
zoom-in-whitePerbesar
Pemohon saat Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 212/PUU-XXIII/2025 Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (12/11/2025). Foto: Mahkamah Konstusi RI
Ia juga menjelaskan bahwa kerugian yang dialaminya juga bersifat spesifik dan aktual karena ketidakjelasan ketentuan norma pasal tersebut.
"Telah menyebabkan Pemohon tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan pasangan yang memiliki agama berbeda," ungkapnya.
Ega juga menyebut bahwa kerugian yang dialaminya makin nyata setelah terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023, yang pada pokoknya berisi larangan bagi pengadilan untuk mengabulkan pencatatan perkawinan antaragama.
"Bahwa terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional yang dialami Pemohon dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan," tutur Ega.
"Apabila Mahkamah mengabulkan pengujian permohonan a quo, maka kerugian konstitusional yang dialami Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi," sambungnya.
Menurut dia, ketentuan administrasi kependudukan sejatinya telah membuka ruang pencatatan perkawinan antaragama melalui penetapan pengadilan. Akan tetapi, dalam praktiknya di lapangan justru tidak konsisten.
Sehingga, kata Ega, norma Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidaksamaan penerapan hukum.
"Bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan kejelasan mengenai bagaimana pasal a quo berlaku dalam konteks pencatatan perkawinan warga negara yang berbeda agama," papar Ega.
"Yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian untuk mendapatkan pengakuan negara melalui pencatatannya," lanjutnya.
Berikut petitum permohonan tersebut:
  • Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
  • Menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan a quo tidak dijadikan dasar hukum oleh pengadilan untuk menolak permohonan penetapan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
  • Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional dengan menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally consitutional) dimaknai bahwa ketentuan a quo tidak dijadikan dasar hukum oleh pengadilan untuk menolak permohonan penetapan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
  • Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.
  • Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Adapun gugatan uji materiil tersebut telah mulai disidangkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan register perkara nomor 212/PUU-XXIII/2025. Sidang perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan telah berlangsung pada Rabu (12/11) lalu.
Sidang tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra sebagai Ketua Panel, dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani.
Menanggapi permohonan tersebut, Saldi Isra meminta pembuktian bahwa Ega bakal menikah dengan pasangannya. Saldi menyebut, hal itu untuk meneguhkan kedudukan hukum dari permohonan tersebut.
"Bagaimana kami membuktikan bahwa Saudara itu akan menikah dengan orang beda agama itu? Karena itu kan dalil legal standing tadi, kan?" tanya Saldi dalam persidangan.
"Betul, Yang Mulia," jawab Ega.
"Bagaimana caranya kami membuktikan? Ini kan soal legal standing ini," ucap Saldi.
"Saya komitmen untuk menikah, tapi dengan adanya ketentuan...," jawab Ega.
"Bukan, kami, apa namanya, bisa membuktikan bahwa Saudara itu akan menikah itu bagaimana caranya membuktikan? Atau bukti apa yang bisa disodorkan ke kami?" tanya Saldi.
"Yang penting Anda berupaya untuk membuktikan itu kepada kami, ya, untuk meneguhkan legal standing-nya," imbuh Saldi.
Hal serupa juga disampaikan oleh Hakim Arsul Sani. Ia meminta agar Ega dapat menunjukkan bukti yang memperkuat kedudukan hukumnya sebagai Pemohon.
"Ini untuk supaya jelas bisa diberikan kedudukan hukum, memang harus ada buktinya. Tidak bisa kemudian hanya mengatakan bahwa mempunyai hubungan yang serius, menuju kehidupan perkawinan, dengan itu, ya," kata Arsul.
"Sebab kalau tanpa bukti, nanti semua orang bisa datang ke sini, ya, yang belum married terutama, ya, dan kemudian mengatakan itu. Jadi, itu harus dibuktikan, buktinya dengan apa, ya, silakan lah," sambung dia.
Sementara itu, Hakim Ridwan Mansyur menyarankan Ega untuk mencantumkan redaksi terbaru dari UU Perkawinan, yakni UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019.
"Supaya lengkap, ya, menuliskan pasal itu harus seluruhnya, jangan sepotong-sepotong. Supaya lebih lengkap, apalagi ini di halaman pertama di permohonan ini, ya," kata Ridwan.
Ridwan juga meminta Ega dapat menjelaskan hubungan kausal (causal verband) antara kerugian konstitusional yang dialami dengan berlakunya pasal yang diuji.
"Nah, kalau itu Saudara bisa uraikan, ya, betul-betul memiliki hubungan sebab akibat, causal verband, setidak-tidaknya Saudara memang mengalami kerugian dengan berlakunya pasal ini atau mungkin SEMA itu," pungkasnya.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.