Jakarta (ANTARA) - Akademisi Muhammad Abdullah Darraz mengingatkan agar orang tua, guru, pemerintah, dan seluruh pihak bisa proaktif untuk membentuk ekosistem pendidikan yang memiliki resistensi tinggi terhadap sebaran paham yang bermuatan intoleransi dan kekerasan secara umum.

Pengajar di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka) itu dalam keterangan di Jakarta, Selasa mengatakan ekosistem pendidikan yang ideal harus memiliki upaya preventif atau pencegahan untuk membangun ketahanan dari dalam melalui pendidikan karakter, inklusivitas, dan kesehatan mental.

Selain itu, guru dan orang tua dibekali pengetahuan untuk melakukan deteksi dini demi mengenali gejala kerentanan dan paparan ideologi berbahaya. Pada akhirnya, ekosistem pendidikan bisa melakukan intervensi dengan tepat, yaitu menangani masalah dengan pendekatan suportif, bukan punitive serta dengan melibatkan konselor, orang tua, dan komunitas.

"Dengan menerapkan strategi yang multi-segi dan konsisten ini, ekosistem pendidikan dapat berubah dari being a target menjadi benteng yang kuat terhadap sebaran paham intoleransi dan kekerasan," kata Darraz.

Menurutnya, saat ini generasi muda dengan sangat mudah rentan terpapar propaganda radikalisme dan ekstremisme berbasis kekerasan melalui berbagai platform digital.

Dulu, propaganda ekstremisme banyak bergantung pada struktur hierarkis kelompok-kelompok organisasi teroris. Materi propaganda dibuat secara profesional oleh pusat media mereka dan disebarkan melalui saluran yang terbatas.

"Namun, saat ini keadaannya telah mengalami pergeseran. Propaganda kelompok radikal semakin terdesentralisasi, dalam artian diciptakan dan disebarkan oleh individu atau sel-sel kecil yang tidak selalu terikat dengan organisasi dan kelompok-kelompok teroris tertentu. Mereka menggunakan platform yang tersedia untuk semua seperti media sosial, aplikasi pesan, dan forum game online," tutur Darraz.

Ia pun menyayangkan pelajar atau individu lainnya di dalam ekosistem pendidikan bisa dengan mudah menjadi produsen sekaligus konsumen konten-konten bermuatan radikal dan ekstrem. Pada prosesnya hingga terpapar ideologi kekerasan, mereka tidak perlu menjadi anggota resmi suatu jaringan teroris tertentu.

Darraz menilai banyaknya konten-konten digital dengan muatan kekerasan atau ekstremisme secara tidak langsung didukung oleh pembuatan konten yang semakin mudah.

Saat ini, konten digital bisa dibuat dengan sederhana melalui meme, video pendek TikTok/reels, thread di Twitter/X atau obrolan di grup WhatsApp/Telegram. Format konten semacam ini sangat akrab dan menarik bagi generasi muda.

Selain maraknya konten dengan unsur kekerasan, faktor terjadinya kekerasan di lingkungan pendidikan bisa juga disebabkan oleh kesehatan mental pelajar yang seringkali terabaikan.

"Peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta yang lalu menjadi bukti bahwa aksi teror dan kekerasan tidak melulu harus melibatkan jaringan terorisme tertentu. Aksi kekerasan atau teror bisa diinspirasi oleh berbagai ideologi, termasuk ideologi white supremacy," ungkapnya.

Darraz menegaskan bahwa area publik seperti sekolah, harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi tumbuh-kembang generasi muda.

"Jangan sampai ada lagi aksi-aksi kekerasan yang dilakukan karena didorong oleh persoalan psikologis yang mereka alami," ujarnya.