Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Mahkamah Agung (MA) periode 2011-2016 Nurhadi mengajukan keberatan atau eksepsi atas dakwaan terkait kasus dugaan penerimaan gratifikasi di lingkungan MA pada periode 2013-2019 dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada periode 2012-2018 terhadap dirinya.
Penasihat hukum Nurhadi, Maqdir Ismail mengaku keberatan akan diajukan lantaran banyaknya isi surat dakwaan yang tidak sesuai dan membingungkan.
"Kami akan menyampaikan eksepsi, tetapi setelah mendengar surat dakwaan kami merasa memerlukan waktu untuk memahami surat dakwaan," ucap Maqdir dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa.
Menurut dia, terdapat beberapa hal yang janggal dalam surat dakwaan, yakni perbuatan menantu Nurhadi sekaligus orang kepercayaannya, Rezky Herbiyono, yang seluruhnya dibebankan menjadi tanggung jawab Nurhadi.
Lalu, sambung dia, kejanggalan lainnya mengenai tempus perkara yang didakwakan, di mana perbuatan diduga terjadi sampai tahun 2018-2019, sedangkan pada periode tersebut, kliennya sudah pensiun.
Selain itu, Maqdir menambahkan terdapat kejanggalan lainnya, seperti perbedaan jumlah uang yang diduga diterima Nurhadi pada kasus kali ini dengan perkara yang sebelumnya.
Dengan begitu, kata dia, pihaknya memerlukan waktu tiga minggu untuk menyusun nota keberatan atau eksepsi.
Kendati demikian, Hakim Ketua Fajar Aji merasa waktu penyusunan eksepsi tersebut terlalu lama lantaran pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi harus selesai dalam jangka 120 hari.
"Jadi, kami tetapkan eksepsi akan dibacakan pada Jumat, 28 November 2025," ucap Hakim Ketua menanggapi.
Dalam kasus tersebut, Nurhadi didakwa menerima gratifikasi senilai Rp137,16 miliar dari para pihak yang berperkara di lingkungan pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, pada saat Nurhadi menjabat maupun telah selesai menjabat sebagai Sekretaris MA.
Selain menerima gratifikasi, ia juga diduga melakukan TPPU senilai total Rp308,1 miliar yang meliputi Rp307,26 miliar dan 50 ribu dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp835 juta (kurs Rp16.700 per dolar AS).
Pencucian uang dilakukan Nurhadi dengan menempatkan dana di rekening atas nama orang lain, membelanjakan atau membayarkan untuk pembelian tanah dan bangunan, serta membelanjakan kendaraan.
Atas perbuatannya, Nurhadi terancam pidana yang diatur dalam Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebelumnya pada 10 Maret 2021, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Nurhadi dengan 6 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 3 bulan.
Majelis hakim menilai Nurhadi terbukti menerima suap sejumlah Rp35,73 miliar serta gratifikasi dari sejumlah pihak sebesar Rp13,79 miliar.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian mengeksekusi Nurhadi ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, pada 7 Januari 2022.
Setelah itu, KPK menahan kembali Nurhadi usai yang bersangkutan bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin. Penahanan tersebut dilakukan KPK pada 29 Juni 2025.







