TRIBUNJATENG.COM, GAZA CITY – Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) menyetujui rancangan resolusi Amerika Serikat (AS) untuk mengerahkan pasukan internasional di Gaza. Sementara, kelompok Hamas menolak kehadiran pasukan asing di Gaza, karena khawatir kedaulatan institusi resmi Palestina akan terabaikan dalam mengelola Gaza.
13 negara mendukung rancangan resolusi AS di bawah komando Presiden Donald Trump, pada Pada Senin (17/11). Pernyataan dukungan terhadap rancangan resolusi ditandatangani oleh Qatar, Mesir, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Indonesia, Pakistan, Yordania, dan Turkiye. Sementara Rusia dan China memilih abstain tanpa mengajukan veto.
Amerika Serikat menyambut hasil pemungutan suara tersebut sebagai langkah bersejarah dan konstruktif. Duta Besar AS untuk PBB, Mike Waltz, menyebut resolusi itu sebagai momentum penting bagi stabilisasi Gaza dan keamanan Israel.
“Resolusi ini merupakan langkah penting lainnya yang akan memungkinkan Gaza untuk makmur dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan Israel hidup dengan aman,” ujarnya, dikutip dari AFP, Selasa (18/11).
Rancangan resolusi tersebut telah melalui sejumlah revisi selama proses negosiasi berisiko tinggi. Dokumen itu mendukung rencana Presiden AS, termasuk pelaksanaan gencatan senjata rapuh antara Israel dan Hamas yang berlaku sejak 10 Oktober 2025. Gencatan senjata tersebut terjadi setelah dua tahun konflik yang dipicu serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Salah satu poin utama dalam resolusi adalah pembentukan Pasukan Stabilisasi Internasional (International Stabilization Force/ISF). Pasukan ini akan bekerja bersama Israel, Mesir, serta polisi Palestina yang baru dibentuk untuk mengamankan wilayah perbatasan dan mendemiliterisasi Jalur Gaza.
ISF diberi mandat untuk menonaktifkan senjata kelompok bersenjata non-negara secara permanen, melindungi warga sipil, serta menjaga koridor bantuan kemanusiaan. Resolusi juga memuat pembentukan Dewan Perdamaian, sebuah badan pemerintahan transisi untuk Gaza yang secara teoritis akan dipimpin Donald Trump hingga akhir 2027.
Dokumen tersebut turut menyinggung kemungkinan pembentukan negara Palestina di masa depan. Namun, Pemerintah Israel menolak keras opsi tersebut.
“Setelah Otoritas Palestina melaksanakan reformasi yang diminta dan pembangunan kembali Gaza sedang berlangsung, kondisi akhirnya mungkin tersedia untuk jalur yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan kenegaraan Palestina,” bunyi teks resolusi.
Penolakan Hamas
Kelompok bersenjata di Gaza, Hamas, mengecam resolusi tersebut. Bersama sejumlah faksi Palestina lainnya, Hamas menilai pembentukan Pasukan Stabilisasi Internasional atau International Stabilization Force (ISF) sebagai langkah berbahaya.
Mereka menyebut rencana itu sebagai upaya memberlakukan perwalian internasional atas wilayah Gaza, sebagaimana dilaporkan Daily Sabah, Senin (17/11). Hamas menegaskan bahwa rancangan resolusi tersebut membuka jalan bagi dominasi eksternal terhadap keputusan nasional Palestina.
Kelompok itu juga menilai langkah tersebut sama saja dengan mencabut hak rakyat Palestina untuk mengatur urusan mereka sendiri. Serta, mengabaikan kedaulatan institusi resmi Palestina untuk mengatur urusan mereka sendiri.
Hamas menekankan bahwa bantuan kemanusiaan harus dikelola oleh lembaga resmi Palestina yang kompeten, dengan pengawasan PBB, tanpa mengabaikan kedaulatan Palestina maupun kebutuhan warga Gaza. Hamas menambahkan bahwa pengelolaan bantuan tidak boleh digunakan untuk meminggirkan institusi-institusi Palestina.
Selain itu, Hamas kembali menolak seluruh klausul dalam rancangan resolusi yang berkaitan dengan upaya melucuti senjata di Gaza. (Kompas.com)