M. ZUBAIR, S.H., M.H., Kepala Dinas Komnunikasi, Informatika, dan Persandian Kabuaten Bireuen, melaporkan dari Bireuen
Rapai (versi tak bakunya ditulis rapa’i atau rapa-i) merupakan alat musik tradisional Aceh yang berbentuk rebana atau gendang besar, terbuat dari kayu dan kulit hewan, biasanya dimainkan secara berkelompok. Sejarah mencatat bahwa rapai diperkenalkan oleh ulama besar, Syeikh Ahmad Rifa’i, yang berasal dari Timur Tengah pada abad ke-16.
Rapai pada awalnya digunakan sebagai media dakwah Islam di Aceh. Bunyi rapai seringnya mengiringi lantunan zikir, selawat, dan syair-syair keagamaan.
Dari sisi etimologi, kata rapai diyakini berasal dari nama “Rifa’i,” yakni tarekat sufi yang menyebar di wilayah Aceh Besar, Pidie, hingga Bireuen.
Seiring waktu, rapai mengalami proses akulturasi dan menjadi bagian integral dari kehidupan sosial masyarakat Aceh.
Di Kabupaten Bireuen sendiri, rapai menjadi simbol kebangrrgaan daerah. Grup-grup rapai tersebar di berbagai gampong dan sering tampil dalam acara-acara adat, keagamaan, dan kenegaraan, termasuk dalam perayaan ulang tahun kabupaten.
Perayaan HUT Ke-26 Kabupaten Bireuen tahun 2025 pada Oktober lalu menjadi momentum besar yang menampilkan kekayaan budaya lokal.
Pemerintah kabupaten bersama masyarakat menggelar berbagai pertunjukan seni tradisional dan salah satu yang paling mencuri perhatian adalah pergelaran rapai yang dimainkan oleh puluhan seniman muda dari berbagai kecamatan.
Acara ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap warisan budaya yang telah lama menjadi identitas masyarakat Bireuen.
Para pemain rapai tampil dengan pakaian adat berwarna cerah—merah, hitam, dan kuning—yang melambangkan keberanian, keagungan, dan kebijaksanaan.
Suara entakan rapai yang ritmis dan serempak memunculkan semangat kebersamaan yang kuat, seolah menggambarkan denyut nadi rakyat Bireuen dalam satu irama.
Kehadiran rapai dalam momentum ulang tahun ini memperlihatkan bahwa seni tradisional masih memiliki tempat istimewa di hati masyarakat Aceh, sekaligus menjadi sarana memperkuat identitas daerah di tengah tantangan globalisasi.
Berbagai macam makna dimiliki seni rapai, di antaranya makna spiritual.
Rapai lahir dari spirit religius, yang dalam sejarahnya, permainan ini selalu dikaitkan dengan zikir dan selawat. Hal tersebut mengandung unsur dakwah yang mengajak masyarakat untuk mengingat kebesaran Allah.
Mata hiburan
Dalam konteks HUT Bireuen, rapai ditampilkan sebagai salah satu mata hiburan. Hal ini menggambarkan rasa syukur kepada Allah atas perjalanan panjang pembangunan dan kemajuan daerah berjuluk “Kota Juang” ini.
Selanjutnya, makna sosial, di mana pergelaran rapai melibatkan banyak orang: pemain, penari, pelatih, dan masyarakat yang menonton, ia menciptakan ruang interaksi sosial yang memperkuat kohesi dan solidaritas antarwarga.
Melalui kerja sama dan kekompakan dalam memainkan rapai, masyarakat diajarkan nilai-nilai gotong royong (meusyeraya), disiplin, dan saling menghargai.
Selain itu, dalam arus modernisasi yang cenderung mengikis nilai tradisional, rapai hadir sebagai simbol perlawanan budaya. Ia menjadi identitas khas Aceh yang membedakan masyarakatnya dari budaya lain.
Dengan menampilkan rapai dalam perayaan HUT, pemerintah daerah menunjukkan komitmen untuk melestarikan dan memperkenalkan budaya lokal kepada generasi muda.
Adapun salah satu aspek menarik dari pergelaran rapai pada HUT Bireuen adalah keterlibatan generasi muda, termasuk pelajar. Hal ini memiliki makna penting dalam pendidikan karakter dan pewarisan nilai-nilai.
Rapai mengajarkan nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, dan kebersamaan. Setiap pemain harus selaras dengan ritme kelompok. Jika satu orang terlambat memukul gendang rapai, niscaya harmoni akan terganggu. Filosofi ini sejalan dengan nilai pendidikan karakter bahwa kesuksesan lahir dari kerja sama, ketekunan, dan rasa hormat terhadap aturan.
Selain itu, keterlibatan anak muda dalam pergelaran rapai juga menjadi langkah konkret dalam transfer budaya antargenerasi. Melalui latihan rutin dan penampilan di panggung, mereka belajar mencintai seni daerahnya sendiri dan menginternalisasi nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Analisis nilai
Pergelaran rapai bukan hanya peristiwa budaya, melainkan juga strategi pembangunan sosial. Melalui seni tradisional, masyarakat Bireuen menumbuhkan rasa bangga terhadap daerahnya dan memperkuat identitas kolektif.
Dari perspektif pembangunan, kegiatan budaya seperti ini memberikan dampak ekonomi, sosial, dan edukatif. Dampak ekonomi, yaitu melalui peningkatan sektor pariwisata lokal dan pemberdayaan pelaku seni. Dampak sosial, terciptanya harmoni, rasa saling menghargai, dan kerja sama lintas generasi.
Dampak edukatif, dapat dilihat melalui pelestarian nilai-nilai tradisional dalam sistem pendidikan dan kegiatan ekstrakurikuler.
Dengan demikian, pergelaran rapi menjadi bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan berbasis budaya lokal.
Dapat pula disimpulkan bahwa pergelaran rapai pada HUT Ke-26 Kabupaten Bireuen merupakan wujud nyata pelestarian dan revitalisasi budaya Aceh yang sarat makna spiritual, sosial, dan identitas.
Melalui bunyi rapai yang menggema, masyarakat Bireuen tidak hanya merayakan hari lahir daerahnya, tetapi juga meneguhkan jati diri mereka sebagai bagian dari peradaban Aceh yang religius, komunal, dan berakar kuat pada nilai-nilai tradisional.
Rapai telah membuktikan diri sebagai sarana pendidikan karakter, media dakwah, sekaligus alat pemersatu masyarakat. Pemerintah daerah dan komunitas seni memiliki tanggung jawab moral untuk terus menjaga eksistensinya, menyesuaikan dengan perkembangan zaman, tanpa menghilangkan ruh dan nilai aslinya.
Pada akhirnya, gema rapai di Ruang Terbuka Hijau Cot Gapu, Bireuen, saat HUT bulan lalu, bukanlah sekadar bunyi tetabuhan gendang, melainkan suara sejarah, semangat kebersamaan, dan doa untuk masa depan daerah yang lebih maju, berbudaya, dan beriman.
Pergelaran seni rapai tersebut juga untuk lebih menguatkan semangat dalam membangun Kabupaten Bireuen sesuai dengan motonya: Gemilang Datang Padamu, Bila Tekad Kukuh Terpadu.