Jepang Gelontorkan Stimulus USD 135 Miliar Demi Redam Tekanan Inflasi
kumparanBISNIS November 22, 2025 01:00 PM
Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi menyetujui paket stimulus besar senilai USD 135 miliar untuk meredakan tekanan inflasi dan membantu masyarakat.
Mengutip Bloomberg, ini merupakan stimulus tambahan terbesar sejak pandemi.
Secara rinci, dari total USD 135 miliar tersebut, sekitar USD 74 miliar dialokasikan untuk menurunkan biaya hidup, termasuk subsidi sekitar USD 44 untuk tagihan gas dan listrik selama tiga bulan hingga Maret, bantuan tunai sekitar USD 127 per anak, serta USD 12,7 miliar untuk mendukung pemerintah daerah.
Langkah ini diperkirakan menurunkan inflasi 0,7 poin persentase pada Februari–April serta mendorong pertumbuhan ekonomi sekitar 1,4 poin persentase per tahun selama tiga tahun.
Stimulus ini juga diharapkan meredakan keresahan publik, meski dapat menimbulkan kekhawatiran investor terhadap kondisi fiskal Jepang.
Dari total stimulus tersebut, sekitar USD 112 miliar merupakan belanja anggaran umum yang kemungkinan dibiayai lewat anggaran tambahan. Nilai ini naik sekitar 27 persen dari paket stimulus sebelumnya.
“Kami menyusun paket ini untuk melindungi kehidupan masyarakat dan merespons cepat masalah inflasi,” kata Takaichi dalam pernyataannya, Jumat (21/11).
Menurut ekonom, besarnya paket mencerminkan posisi pemerintah minoritas yang harus bernegosiasi dengan oposisi. Kekhawatiran pasar meningkat karena stimulus jumbo bisa melemahkan yen dan mengurangi efektivitas kebijakan.
Perbesar
Ilustrasi bangunan di Tokyo yang menghalangi view ke Gunung Fuji. Foto: Fotokon/Shutterstock
Inflasi Terpanjang
Inflasi Jepang saat ini telah berada di atau di atas target 2 persen selama 43 bulan berturut-turut, rekor terpanjang sejak 1992.
Untuk meredakan tekanan harga, pemerintah juga menyediakan sekitar USD 6,3 miliar untuk menghapus pajak bensin, kebijakan yang awalnya diusulkan partai oposisi.
Berikutnya menaikkan batas pendapatan bebas pajak yang membutuhkan USD 7,6 miliar.
Stimulus juga mencakup penguatan sektor pertahanan dan diplomasi sekitar USD 10,8 miliar. Dari jumlah itu, USD 7 miliar digunakan untuk mempercepat target belanja pertahanan menjadi 2 persen dari PDB tahun ini, dua tahun lebih cepat dari rencana semula.
Selain itu, Jepang menyiapkan sekitar USD 45,6 miliar untuk investasi terkait penanganan krisis serta dana cadangan sekitar USD 4,4 miliar untuk bencana alam dan insiden seperti serangan beruang.
Survei Asahi News Network (ANN) menunjukkan dukungan terhadap kabinet Takaichi naik menjadi 67,5 persen, dengan mayoritas warga optimistis paket ekonomi ini bisa membantu.
Namun pemerintah kemungkinan harus menerbitkan lebih banyak obligasi dibanding tahun lalu untuk membiayai stimulus ini. Kekhawatiran mengenai utang membuat imbal hasil obligasi jangka menengah dan panjang naik ke level tertinggi sejak 2008.
Perbesar
Sejumlah orang berdiri di jembatan penyeberangan di daerah Dotonbori di Osaka, Jepang. Foto: Philip FONG/AFP
Yen juga melemah melewati 157 per dolar, level terlemah sejak Januari, sehingga memicu perhatian pejabat pemerintah.
Meski begitu, S&P menilai kondisi fiskal Jepang yang lemah dan utang sangat besar sudah lama tercermin dalam peringkat mereka, sehingga pelemahan tambahan tidak akan mengubah prospek secara drastis.
Takaichi memperkirakan penerbitan obligasi baru tahun ini akan tetap berada di bawah level tahun lalu sekitar USD 266 miliar. Pemerintah sebelumnya merencanakan penerbitan obligasi 20 persen lebih sedikit dalam anggaran awal.
Pemerintah menghitung paket stimulus ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 1,4 poin persentase per tahun selama tiga tahun. Ekonomi Jepang sendiri baru saja mengalami kontraksi pertama dalam enam kuartal pada Juli–September akibat dampak tarif AS.
Paket ini juga memperkuat lembaga keuangan pemerintah seperti Bank Jepang untuk Kerja Sama Internasional (JBIC) dan Nippon Export and Investment Insurance (NEXI), guna menjalankan dana investasi senilai USD 550 miliar dalam kesepakatan tarif Jepang–AS.
Pemerintah juga mencari sumber pendanaan baru untuk investasi di sektor strategis seperti industri kapal, teknologi kuantum, dan mineral kritis.