70.244 Pekerja Kena PHK Selama 2025, Jawa Tengah Jadi Daerah Kedua Terbanyak
M Zainal Arifin November 28, 2025 06:30 PM
Ringkasan Berita:
  • Sepanjang Januari–Oktober 2025, gelombang PHK nasional berdampak besar pada Jawa Tengah yang mencatat 13.545 pekerja kehilangan pekerjaan.
  • Jawa Tengah menempati posisi sebagai provinsi terdampak kedua terbanyak setelah Jawa Barat.
  • Situasi ini diperparah dengan penutupan lima pabrik tekstil yang menyebabkan sekitar 3.000 karyawan kehilangan pekerjaan akibat serbuan produk impor murah dan anjloknya penjualan di pasar domestik.

 

TRIBUNJATENG.COM - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda Indonesia sepanjang 2025 turut memberikan dampak signifikan bagi tenaga kerja di Jawa Tengah.

Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat, dari total 70.244 pekerja yang terkena PHK selama Januari–Oktober 2025, Jawa Tengah menempati posisi kedua terbanyak dengan 13.545 pekerja yang kehilangan pekerjaan.

Jumlah tersebut hanya berada di bawah Jawa Barat yang mencatat 22,29 persen dari total PHK nasional, dan jauh di atas Banten, DKI Jakarta, serta Jawa Timur yang berada di posisi berikutnya.

Kondisi ini menunjukkan bahwa Jawa Tengah ikut menghadapi tekanan ekonomi dan industri yang belum sepenuhnya pulih, sehingga memengaruhi stabilitas ketenagakerjaan di wilayah tersebut.

Para pekerja yang terkena PHK tercatat sebagai peserta program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yang menjadi jaring pengaman bagi mereka untuk mendapatkan pelatihan ulang dan manfaat finansial sementara.

Namun, tingginya angka PHK ini menjadi alarm bagi pemerintah daerah untuk memperkuat sektor industri, meningkatkan kualitas tenaga kerja, serta mendorong investasi baru guna menekan risiko PHK di masa mendatang.

Lima Pabrik Tekstil Tutup

Jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akan mengalami peningkatan seiring adanya penutupan lima pabrik tekstil.

Penutupan pabrik tekstil diungkap Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), di mana ada sekitar 3.000 karyawan kehilangan pekerjaan.

Lima pabrik tersebut yakni PT Polychem Indonesia yang beroperasi di Karawang, Jawa Barat, dan Tangerang, Banten.

Kemudian, PT Asia Pacific Fibers di Karawang, PT Rayon Utama Makmur yang merupakan bagian dari Sritex Group, PT Panasia Indosyntec, serta PT Susilia Indah Synthetics Fiber Industries (Sulindafin) di Tangerang.

Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil Syauqi menjelaskan, penutupan pabrik akibat kerugian besar yang dialami perusahaan karena penjualan di pasar domestik tidak bergerak. 

Menurutnya, produk impor dengan harga dumping, baik kain maupun benang, membuat produk lokal sulit bersaing.

Kondisi tersebut membuat sebagian pabrik lain kini hanya beroperasi di bawah 50 persen kapasitas, bahkan ada yang menerapkan sistem on-off.

“Lima mesin polimerisasi sudah berhenti total,” ujarnya dikutip Jumat (28/11/2025).

Bakal Berlanjut di 2026

Farhan memperingatkan adanya potensi penutupan pabrik tekstil lain pada 2026, jika pemerintah tidak segera mengendalikan arus impor dan membuka transparansi mengenai penerima kuota impor terbesar.

Data tersebut, kata Farhan, seharusnya mudah diakses pemerintah karena setiap barang impor tercatat dalam sistem bea cukai.

“Ini tinggal menunggu action pemerintah. Jika tidak ada tindakan korektif, enam perusahaan lainnya bisa menyusul bangkrut karena tidak mampu menjual produknya di pasar domestik."

"Rencana produksi tahun depan juga tidak bisa ditentukan tanpa transparansi kuota impor. Deindustrialisasi benar-benar terjadi,” tegasnya.

Farhan mengapresiasi langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang berkomitmen menekan praktik impor ilegal. 

Ia menilai penyelidikan terhadap impor thrifting dapat membuka dugaan kecurangan dalam tata niaga impor.

“Dari impor thrifting itu bisa terlihat siapa importirnya hingga siapa backing-nya."

"Penegak hukum bisa menelusuri siapa yang menyebabkan kerugian negara. Kami meyakini ada birokrat yang terlibat dan keterafiliasian itu sudah matang,” kata Farhan.

(*)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.