Bukan apa-apa karena memang tidak masuk di akal itu kalau usia maksimum tidak diatur atau tidak ada batasnya

Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej menyebutkan usia maksimum profesi advokat harus diatur dalam revisi Undang-Undang (UU) tentang Advokat.

Berbeda dengan beberapa profesi hukum lainnya, UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat hanya mengatur usia minimal untuk menjadi advokat, yakni 25 tahun, sehingga selama seorang advokat memenuhi syarat dan mematuhi kode etik profesi, orang tersebut dapat terus berpraktik.

"Bukan apa-apa karena memang tidak masuk di akal itu kalau usia maksimum tidak diatur atau tidak ada batasnya," ungkap pria yang akrab disapa Eddy itu, dalam acara Diskusi Publik dan Sosialisasi bertajuk Menyongsong Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional di Jakarta, Jumat.

Ia mencontohkan salah satu hal yang tidak masuk akal tersebut, yakni adanya mantan hakim agung, jaksa agung, hingga kepala Kepolisan Negara Republik Indonesia (kapolri), yang bisa menjadi advokat.

Menurut dia, hal itu akan menjadi kendala di lapangan, khususnya apabila saat mantan Kapolri yang menjadi advokat tersebut berpraktik dan bertemu dengan penyidik yang masih junior.

Kendala yang sama, kata dia, juga akan terjadi apabila mantan Jaksa Agung yang menjadi advokat bertemu dengan para jaksa yang baru bertugas di pengadilan.

"Selesai itu barang. Habis semua itu penyidik dan jaksa junior," katanya.

Maka dari itu, Eddy menekankan hal tersebut harus diperbaiki karena di negara lain, seperti di Belanda, tidak ada praktik seperti itu.

Dirinya mengaku tidak adanya praktik seperti itu di negara lain setelah dirinya sempat melakukan penelitian panjang di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang pola rekrutmen, sistem pendidikan, dan karir aparat penegak hukum di Indonesia.

"Justru sebaliknya di sana ada, advokat yang kemudian jadi jaksa, polisi, atau hakim," ungkapnya.