Epidemiolog Wanti-wanti Risiko Polio Muncul Lagi Pasca Bencana Aceh hingga Sumut
GH News December 01, 2025 07:11 PM
Jakarta -

Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengingatkan wilayah terdampak banjir dan longsor di Aceh serta Sumatera Utara perlu berada dalam kondisi siaga terhadap kemungkinan munculnya kembali kasus polio. Meski Indonesia telah menerima sertifikat bebas polio pada 2014, risiko kemunculan kembali penyakit lumpuh layu itu tidak pernah benar-benar hilang, seperti yang dilaporkan pada Juni 2024.

Menurut Dicky, deklarasi bebas polio berarti tidak ada virus polio yang sedang beredar secara aktif di masyarakat, baik virus polio liar (WPV) maupun vaccine-derived poliovirus (VDPV). Namun, kondisi tersebut tidak menghapus potensi reemergensi, terutama di daerah dengan sanitasi buruk dan cakupan imunisasi rendah.

"Risiko kembali munculnya kasus tetap ada. Wilayah dengan sanitasi rendah dan imunisasi buruk seperti Aceh, termasuk Pidie Jaya, secara epidemiologis berada dalam status kewaspadaan," bebernya saat dihubungi detikcom Senin (1/12/2025).

Bencana Perparah Risiko

Dicky menegaskan bencana banjir dan longsor menciptakan lingkungan yang ideal bagi transmisi virus polio. Mekanisme penularan polio yang melalui feses (tinja) membuat penyakit ini sangat sensitif terhadap kerusakan infrastruktur sanitasi.

"Pasca bencana, jamban rusak, akses air bersih terbatas, dan kontaminasi air meningkat. Kondisi seperti ini membuka jalur fecal oral transmission, bahkan dari kasus polio asimptomatik yang tanpa gejala," kata Dicky.

Ia mencontohkan beberapa negara yang pernah mengalami lonjakan polio setelah banjir besar, seperti Nigeria, Pakistan, dan Yaman, ketika virus yang semula tak terdeteksi kembali menyebar cepat akibat penurunan kualitas sanitasi.

Selain faktor lingkungan, bencana juga menyebabkan terganggunya layanan kesehatan dasar. Di beberapa wilayah Aceh dan Sumut, pelayanan puskesmas terhenti sementara karena fasilitas terdampak atau akses jalan terputus. Kondisi ini membuat imunisasi rutin, termasuk imunisasi polio, menurun drastis.

"Ketika layanan vaksinasi berhenti dan imunisasi anak tertunda, terbentuklah immunity gap di kelompok bayi dan anak kecil. Mereka menjadi kelompok paling rentan ketika virus polio kembali beredar," jelasnya.

Dicky menekankan pentingnya langkah cepat pemerintah daerah dan pusat, termasuk penilaian risiko epidemiologis, pendirian posko imunisasi kejar, serta pemulihan sanitasi dasar di lokasi pengungsian. Edukasi mengenai kebersihan tangan dan penggunaan fasilitas sanitasi aman juga harus diperkuat.

"Bencana harus direspons bukan hanya dengan bantuan logistik, tetapi juga kesiapsiagaan penyakit menular, termasuk polio. Kita tidak boleh mengulang pengalaman negara lain yang kecolongan setelah bencana," tegasnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.