Realitas ini tidak semata-mata merupakan persoalan ekonomi, ini adalah persoalan keadilan, kewajaran, dan pengakuan moral
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia resmi mengajukan Indonesian Proposal for a Legally Binding International Instrument on the Governance of Copyright Royalty in Digital Environment dalam pertemuan Komite Tetap Hak Cipta dan Hak Terkait (SCCR) Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) sebagai langkah strategis memperjuangkan keadilan dalam tata kelola royalti digital global.
Memimpin delegasi Indonesia dalam sidang di Jenewa, Swiss, Senin, Wakil Menteri Luar Negeri RI Arif Havas Oegroseno menyebutkan sering kali pencipta hanya menerima sebagian kecil dari pendapatan yang dihasilkan oleh karya mereka sendiri.
"Realitas ini tidak semata-mata merupakan persoalan ekonomi, ini adalah persoalan keadilan, kewajaran, dan pengakuan moral," ungkap Arif, seperti dikutip dari keterangan yang dikonfirmasikan di Jakarta
Oleh karena itu, sambung dia, Indonesia menyerukan pembaruan komitmen dan tindakan bersama melalui Proposal Indonesia.
Menurutnya, pengajuan proposal tersebut merupakan bentuk tanggung jawab Negara dalam memperjuangkan pelindungan hak ekonomi kreator di tingkat global, bukan hanya di dalam negeri.
Dia juga memandang pengajuan instrumen internasional yang mengikat itu berangkat dari ketimpangan struktural yang kian melebar dalam ekosistem royalti digital dunia.
Setiap tahun, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dan Bank Dunia memperkirakan 55,5 miliar dolar Amerika Serikat (AS) royalti musik dan audiovisual menguap, tidak pernah terkumpul, tidak pernah dicatat, dan tidak pernah diterima penciptanya.
Arif menegaskan sistem royalti yang adil dan berkeadilan harus menjunjung tinggi martabat seluruh pencipta, tanpa memandang wilayah geografis maupun ukuran pasar.
"Keadilan pada gilirannya menuntut adanya transparansi agar para pencipta dapat memahami bagaimana royalti mereka dihitung, didistribusikan, dan dilaporkan,” ujar dia.
Pada awalnya, inisiatif proposal digagas Menteri Hukum RI Supratman Andi Agtas sejak Mei 2025 dan mulai bergulir di sidang SCCR WIPO pada Desember ini.
Di sela-sela sidang, Indonesia bertemu secara bilateral dengan kelompok kelompok regional GRULAC (Amerika Latin dan Karibia), Jepang, dan Amerika Serikat.
Dalam kesempatan terpisah, Supratman meyakini Proposal Indonesia akan memberikan dampak langsung dan signifikan bagi seluruh kreator dunia, termasuk Indonesia.
Dirinya menyampaikan kreator bakal memperoleh akses atas data pemutaran karya secara global, mengetahui negara dengan tingkat konsumsi tertinggi, memahami nilai ekonomi yang sebenarnya dari setiap pemanfaatan karya, serta menerima royalti yang selama ini tidak terdistribusikan secara optimal.
"Nilai ekonomi musik dan audiovisual Indonesia bahkan berpotensi meningkat hingga triliunan rupiah per tahun seiring terbukanya akses data global yang selama ini tertutup," ucap Supratman.
Oleh sebab itu, ia meminta dukungan untuk keberhasilan proposal tersebut, khususnya dari para kreator Indonesia.
Dia juga mengajak seluruh kreator untuk secara aktif melindungi kekayaan intelektual melalui pencatatan hak cipta agar hak ekonomi dapat diperjuangkan secara optimal.
Melalui inisiatif global itu, kata dia, Indonesia ingin memastikan setiap karya anak bangsa yang dikonsumsi di berbagai belahan dunia memberikan manfaat ekonomi yang adil bagi penciptanya.
“Tetaplah berkarya dan percayalah bahwa negara sedang memperjuangkan hak Anda, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di hadapan dunia,” tuturnya.
Menkum menambahkan ketimpangan yang ada tidak terlepas dari kuatnya dominasi platform digital global dalam menentukan nilai ekonomi karya.
Dikatakan bahwa platform menguasai algoritma rekomendasi, model lisensi, standar metadata, hingga sistem pelaporan pendapatan.
Pemerintah Indonesia mengidentifikasi empat persoalan struktural utama, yaitu metadata yang terfragmentasi, ketergantungan pada model pembagian royalti yang tidak adil, perbedaan penilaian royalti antarnegara, serta tata kelola distribusi yang tidak transparan.
“Dalam ekosistem digital, siapa yang menguasai data, dia yang menguasai nilai. Ini lah akar persoalan royalti global saat ini,” ungkapnya.
Menjawab persoalan tersebut, Indonesia menawarkan arsitektur baru tata kelola royalti global yang konkret, operasional, dan teknis melalui tiga pilar utama.
Supratman membeberkan pilar tersebut meliputi standardisasi metadata fonogram dan audiovisual secara global, kewajiban transparansi lisensi, penggunaan, dan distribusi royalti lintas negara, serta pembentukan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas global melalui audit internasional.
Ketiga pilar itu, lanjut dia, dirancang untuk memastikan tidak ada lagi karya yang “hilang” dari sistem serta menjamin setiap pemanfaatan karya tercatat secara akurat dan bernilai ekonomi yang jelas.
Agar seluruh mekanisme tersebut berjalan efektif, Indonesia menegaskan instrumen yang digunakan perlu bersifat mengikat. Pendekatan hukum lunak alias soft law dinilai tidak cukup untuk menghadapi ketimpangan relasi kekuasaan antara negara dan platform digital raksasa.
Dengan demikian, Menkum menilai instrumen mengikat diperlukan untuk menjamin konsistensi lintas negara sekaligus memperkuat posisi hukum negara berkembang dalam memperjuangkan hak ekonominya.
“Tanpa kewajiban hukum dan sanksi yang tegas, transparansi hanya akan menjadi komitmen moral yang tidak memiliki daya paksa,” kata Supratman menambahkan.
Dalam pertemuan yang diikuti 194 negara anggota WIPO selama 1-5 Desember 2025 itu, Arief memimpin delegasi Indonesia, dengan didampingi Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum (Kemenkum) RI Hermansyah Siregar.
Selain itu, hadir pula Kepala Badan Strategi Kebijakan (BSK) Hukum Kemenkum RI Andry Indradi YANG mengikuti sidang dan memperkaya konten tentang usulan Indonesia terkait royalti musik dan media.







