TRIBUNJATENG.COM, WONOSOBO - Penangkapan dua aktivis di Semarang memicu gelombang protes dari kalangan mahasiswa di Wonosobo.
Puluhan kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Wonosobo menggelar aksi solidaritas di depan Mapolres Wonosobo, Senin (1/12/2025), menuntut penghentian kriminalisasi terhadap aktivis serta penegakan hak asasi warga sipil.
Dua aktivis yang ditangkap paksa pada Kamis (27/11/2025) itu adalah Adetya Pramandira, staf Walhi Jawa Tengah, dan Fathul Munif, aktivis Aksi Kamisan Semarang.
Aksi penangkapan tersebut dinilai PMII sebagai bentuk pembungkaman ruang kritik dan bertentangan dengan prinsip negara hukum.
Ketua PC PMII Wonosobo, Ahmad Nur Sholih, mengecam keras tindakan aparat kepolisian.
Ia menyebut peristiwa tersebut sebagai preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia.
“Penangkapan ini jelas mencederai hak asasi manusia,” ujarnya dalam orasi.
Ahmad menambahkan, praktik kriminalisasi terhadap aktivis ini bukan pertama kalinya terjadi dan menunjukkan pola berulang yang mengkhawatirkan.
“Kami menolak praktik yang mengancam kebebasan berpendapat,” tegasnya.
Dalam aksi tersebut, PMII Wonosobo tak hanya menyoroti kasus Semarang, namun juga penanganan hukum terhadap puluhan warga yang terjadi pada akhir Agustus hingga awal September 2025.
Mereka menilai tindakan itu serampangan serta berpotensi membuka ruang kesewenang-wenangan aparat terhadap sipil.
PMII menyampaikan sejumlah tuntutan resmi kepada pemerintah dan lembaga negara.
Di antaranya mendesak Presiden Prabowo untuk menggunakan kewenangannya menghentikan proses hukum terhadap para tahanan politik, termasuk Adetya dan Munif.
Selain itu, mereka meminta Kapolri memerintahkan Kapolrestabes Semarang membebaskan keduanya tanpa syarat.
“Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Ombudsman harus bergerak memastikan proses hukum dihentikan,” lanjut Ahmad.
Kapolres Wonosobo sempat menemui para mahasiswa untuk menerima aspirasi yang disampaikan.
Aksi berjalan damai hingga sore hari, meskipun sempat diguyur hujan.
PMII Wonosobo menegaskan akan terus mengawal proses hukum tersebut sebagai bentuk komitmen menjaga hak-hak kebebasan sipil di Indonesia. (*)