BANJARMASINPOST.CO.ID - Hari Disabilitas Internasional (HDI) kembali hadir, Rabu (3/12/2025). Kendati keberadaan kalangan disabilitas jamak di perkotaan Kalimantan Selatan, fasilitas layanan untuk mereka belum optimal.
Ini antara lain tampak di Banjarmasin. Guiding block untuk tunanetra di trotoar, misalnya, kerap terhalang pot bunga, bangunan liar dan tempat parkir kendaraan.
Kondisi ini diakui Ketua DPC Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Banjarmasin Hamsani, Selasa (2/12/2025).
Penyandang tunanetra itu mengatakan pemerintah memang mulai memperhatikan kebutuhan disabilitas, namun penerapannya masih jauh dari ideal.
“Guiding block dibikin, tapi tidak ada sosialisasi. Harusnya kalau itu jalur disabilitas, kendaraan atau gerobak tidak boleh mangkal di situ. Nyatanya, banyak kawan tunanetra yang justru celaka. Ada yang tertabrak gerobak. Saya pernah tersepak pot bunga,” ujarnya.
Masalah lain, menurutnya, lebih mendasar seperti akses terhadap pelatihan, pekerjaan, hingga fasilitas pendukung untuk hidup mandiri.
Ia menilai bantuan sering tidak tepat sasaran dan pelatihan tidak berkelanjutan.
“Banyak yang ikut pelatihan, tapi selesai itu mereka bingung. Mau menerapkan keterampilan pijat, tidak ada tempat. Mau produksi telur asin, tidak tahu menjualnya ke mana. Ada yang belajar pijat, ujungnya malah ngamen,” kata Hamsani.
Ia juga menyoroti stigma di masyarakat. “Mencari tempat tinggal saja susah. Banyak yang tidak percaya dengan tunanetra. Takut kebakaran lah, takut yang lain-lain. Ini sering saya sampaikan ke pemerintah,” tambahnya.
Arie Ramadhani, penyandang tunadaksa tangan, berharap pemerintah berhenti hanya fokus pada pelatihan.
Ia mengatakan pelatihan menjahit atau wirausaha tidak cukup karena lapangan kerja tetap minim.
“Kalau sudah dilatih, harusnya ada yang menampung. Kalau disabilitas ringan seperti saya, seharusnya masih bisa bekerja sebagai penyapu jalan atau pemilah sampah. Yang kami butuhkan pendapatan tetap, bukan hanya pelatihan,” ujarnya.
Di tengah kekurangan, Pemko Banjarmasin terus berusaha memberikan pelayanan kepada warga disabilitas. Di Mal Pelayanan Publik (MPP), fasilitas untuk penyandang disabilitas tampak tersedia, seperti kursi roda, tongkat, guiding block, hingga area parkir dan toilet khusus. Secara kasat mata, layanan publik ini sudah mencoba tampil inklusif.
Duty Officer MPP Banjarmasin, Rahmadalina Riyani, mengatakan fasilitas tersebut ada sejak lama.
“Kalau ada teman difabel yang datang, kami prioritaskan. Tapi untuk petugas khusus bahasa isyarat, kami masih bekerja sama dengan Dispersip, belum punya SDM khusus. Rencananya ada penambahan, tapi belum terealisasi,” ujarnya, Selasa.
Guiding block juga mulai terpasang di sejumlah titik trotoar, seperti Jalan Ahmad Yani, Jalan Lambung Mangkurat, hingga Jalan S. Parman. Meski begitu, sejumlah blok terlihat rusak, tertutup pot, bahkan terhalang kendaraan yang parkir sembarangan.
Sementara upaya Pemerintah Provinsi Kalsel untuk memperluas fasilitas transportasi umum yang ramah penyandang disabilitas masih terkendala kebijakan efisiensi besar-besaran.
Kondisi ini membuat pembangunan halte permanen yang aksesibel bagi pengguna kursi roda, tunanetra, dan kelompok disabilitas lainnya belum dapat direalisasikan dalam waktu dekat.
“Kami sudah ada sekitar 5–6 bus ramah disabilitas. Tapi untuk halte, kami belum bisa mengakomodasi kebutuhan teman-teman disabilitas,” ungkap Kepala Dinas Perhubungan Kalsel, Fitri Hernadi, Selasa.
Fitri menjelaskan sebagian besar halte portabel dan berukuran kecil. Sedangkan untuk menyediakan fasilitas seperti jalur kursi roda, ruang tunggu yang memadai atau desain berbasis transit oriented development (TOD), perlu halte permanen di lahan khusus.
“Kami lagi efisiensi besar-besaran. Semoga saja ke depan bisa mengalokasikan fasilitas untuk disabilitas,” katanya.
Dia menegaskan kerja sama dengan pemerintah kabupaten dan kota menjadi kunci agar perencanaan pergantian halte portabel menuju halte permanen bisa segera tersinkronisasi, sekalipun fiskal masih ketat. (sul/msr)