Oleh: Barkatullah Amin, Mahasiswa Program Doktoral Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin
BANJARMASINPOST.CO.ID- HARI Penyandang Disabilitas Internasional (HDI) atau yang dikenal secara global sebagai International Day of People with Disability yang diperingati setiap 3 Desember selalu menjadi ruang refleksi global untuk menegaskan kembali komitmen terhadap kesetaraan dan inklusivitas. Namun pada tahun 2025, peringatan ini membawa makna yang lebih dalam bagi masyarakat Kalimantan Selatan.
Tahun ini, Provinsi Kalsel berhasil meraih peringkat ketiga nasional sebagai Pemerintah Daerah Inklusif Disabilitas Terbaik menurut penilaian Bappenas.
Prestasi ini tentu layak diapresiasi, sebab menunjukkan adanya kemajuan signifikan dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Meski demikian, penghargaan ini juga menjadi cermin yang mengingatkan bahwa masih banyak pekerjaan lain yang perlu dituntaskan.
Inklusi tidak selesai dalam satu program, satu kebijakan atau satu penghargaan, tapi perjalanan panjang yang membutuhkan keberlanjutan, keberanian berbenah, dan prioritas yang jelas.
Dalam konteks tersebut, isu pendidikan dan pekerjaan bagi penyandang disabilitas menjadi dua pilar penting yang perlu mendapat perhatian lebih serius. Sebab di balik kemajuan yang terlihat, masih terdapat ketimpangan struktural yang menghalangi penyandang disabilitas untuk menikmati kehidupan yang setara dan bermartabat.
Momentum HDI 2025 memberi kesempatan bagi kita untuk melihat kembali persoalan ini secara lebih jernih, lebih manusiawi, dan lebih visioner.
Prestasi Inklusivitas dan Tantangan
Perolehan peringkat ketiga nasional sebagai daerah inklusif menunjukkan bahwa Kalimantan Selatan (Kalsel) telah membangun fondasi kebijakan yang kuat.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan mandat jelas mengenai hak pendidikan, hak pekerjaan, serta kewajiban pemerintah dan sektor swasta untuk memenuhi kuota tenaga kerja disabilitas, masing-masing dua persen untuk instansi pemerintah dan satu persen untuk perusahaan swasta.
Kebijakan ini diperkuat oleh Peraturan Daerah Kalimantan Selatan Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, serta Pergub Nomor 90 Tahun 2022 sebagai pedoman implementasi di tingkat daerah.
Namun capaian regulatif ini tidak otomatis menyelesaikan persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas sepenuhnya. Masyarakat masih menemukan tantangan nyata seperti persepsi sosial yang belum setara, hambatan mobilitas, aksesibilitas fasilitas publik yang belum merata, serta kurikulum pendidikan yang belum sepenuhnya adaptif.
Dalam sektor ketenagakerjaan, sebagian penyedia kerja memang membuka kesempatan bagi penyandang disabilitas, tetapi syarat administratif seperti ijazah maupun batas usia kerap menjadi hambatan yang menjauhkan mereka dari peluang kerja yang lebih stabil dan layak.
Dengan demikian, keberhasilan Kalsel tidak boleh dipahami sebagai capaian final. Sebaliknya, ia adalah titik awal yang positif untuk memperdalam komitmen, memperkuat strategi, dan mempercepat pemenuhan hak-hak mendasar penyandang disabilitas, khususnya pendidikan dan pekerjaan.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah provinsi maupun kabupaten di Kalimantan Selatan telah memberikan berbagai pelatihan keterampilan untuk mendukung kemandirian ekonomi penyandang disabilitas.
Pelatihan-pelatihan ini mencakup usaha kecil, kerajinan, layanan rumahan, hingga wirausaha mandiri. Upaya ini penting, karena membuka jalan bagi penyandang disabilitas untuk mengekspresikan potensi mereka dan memperoleh penghasilan.
Namun di balik cerita pelatihan itu, terdapat kisah ketangguhan yang jarang terlihat. Banyak penyandang disabilitas harus berjuang mempertahankan usaha kecilnya.
Mereka bekerja sambil mengatasi keterbatasan mobilitas, mengelola modal yang sangat terbatas, dan menghadapi tantangan akses pasar yang belum inklusif.
Dalam banyak kasus, usaha kecil yang mereka jalankan sangat rentan terhadap perubahan ekonomi dan tidak selalu memberikan pendapatan yang stabil.
Realitas ini menunjukkan bahwa pelatihan saja tidak cukup. Penyandang disabilitas membutuhkan jalur yang lebih kokoh untuk dapat masuk ke dunia kerja formal, yang menyediakan upah layak, jaminan sosial, dan peluang karier. Tetapi dunia kerja formal tidak hanya menguji kemampuan, melainkan juga menguji persyaratan administratif yang berbasis pendidikan.
Tanpa ijazah, peluang kerja formal sering kali tertutup, meskipun kemampuan dan integritas yang mereka miliki jauh lebih dari memadai.
Akselerasi Pendidikan
Pendidikan formal sering kali tidak dapat dijangkau oleh penyandang disabilitas sejak usia sekolah. Banyak dari mereka menghadapi hambatan struktural, mulai dari fasilitas sekolah yang tidak aksesibel, jarak yang jauh, hingga pengalaman diskriminatif.
Kondisi ekonomi keluarga juga membuat banyak penyandang disabilitas tidak dapat melanjutkan pendidikan pada jalur reguler. Akibatnya, ketika dewasa, mereka tidak memiliki dokumen pendidikan yang diperlukan untuk mengakses dunia kerja formal.
Untuk itu, model pendidikan Paket A, B, dan C menjadi pintu alternatif yang sangat berarti. Namun lebih dari sekadar menyediakan kelas paket, yang dibutuhkan penyandang disabilitas adalah model akselerasi pendidikan yang lebih adaptif, fleksibel, dan relevan.
Akselerasi pendidikan memungkinkan mereka mendapatkan ijazah setara dalam waktu lebih singkat, tanpa mengurangi kualitas pembelajaran.
Model ini penting karena banyak penyandang disabilitas yang tidak lagi berada dalam usia sekolah dan memiliki tanggung jawab ekonomi yang tidak bisa ditinggalkan.
Akselerasi pendidikan bukan hanya soal meraih ijazah. Ia adalah alat transformasi sosial.
Kalsel dengan posisinya sebagai salah satu daerah paling inklusif di Indonesia, memiliki modal kuat memulai langkah ini. Akselerasi pendidikan bagi penyandang disabilitas dapat menjadi program unggulan yang membawa perubahan nyata, sekaligus menegaskan kembali komitmen provinsi ini terhadap pemenuhan hak setiap warga negara.
HDI 2025 mengingatkan kita bahwa inklusi bukan hanya tentang menghadirkan fasilitas ramah disabilitas atau menjalankan program pelatihan ekonomi. Inklusi juga tentang memastikan setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, bekerja, dan hidup bermartabat.
Komitmen inklusivitas yang sejati adalah ketika penyandang disabilitas tidak lagi dipandang sebagai objek bantuan, tetapi sebagai subjek pembangunan.
Ketika pendidikan menjadi jembatan yang menghubungkan mereka dengan kesempatan hidup yang lebih baik, maka inklusi bukan hanya wacana, melainkan kenyataan yang hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Kini tiba saatnya untuk mempercepat langkah, memperkuat komitmen, dan memastikan bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki ruang yang layak dalam perjalanan menuju masa depan yang adil dan bermartabat. (*)