BANJARMASINPOST.CO.ID- PUBLIK menunggu garuda muda kembali mengibarkan Merah Putih di podium tertinggi SEA Games, kenyataan bicara berbeda.
Ajang olahraga multicabang ini dijadwalkan berlangsung pada 9-20 Desember 2025. Fokus utama adalah cabang olahraga sepak bola putra yang akan dimulai lebih awal, yakni pada 3-18 Desember 2025.
Pertandingan sepak bola putra akan digelar di tiga kota berbeda, Bangkok, Chiang Mai, dan Songkhla, memastikan distribusi lokasi yang merata. Grup C bersama Myanmar dan Filipina.
Namun bukannya sorak sorai dukungan untuk rebut kembali emas, justru ada keputusan dari dalam tubuh penyelenggara yang menaruh target berbeda-beda.
Perbedaan terjadi di internal Indonesia, di mana terdapat perbedaan target antara PSSI dan pemerintah. Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Kemenpora) menetapkan target yang lebih realistis, yaitu medali perak untuk cabang olahraga sepak bola putra di SEA Games 2025.
Sementara Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan jajaran tim pelatih serta pemain Timnas U23 Indonesia bertekad untuk tetap meraih medali emas dan mempertahankan gelar juara yang didapat pada SEA Games sebelumnya di Kamboja.
Alasan resminya evaluasi realistis atas kekuatan tim, kompetitor regional, dan beban besar atas 996 atlet yang mewakili 48 cabang.
Namun memilih target rendah justru bicara banyak tentu akan ada tekanan ekspektasi, politik olahraga, dan dampak psikologis bagi pemain. Pendirian ini bisa dibaca sebagai langkah bijak “jangan terlalu tinggi kalau belum pasti”.
Tapi di mata publik suporter, media, generasi muda itu muncul sebagai sinyal bahwa kita meremehkan potensi sendiri. Apalagi saat skuad ini datang membawa beban gelar juara bertahan dari SEA Games 2023. Jika realita jadi patokan, maka di situlah kita kalah duluan bukan di lapangan.
Saat PSSI mengusulkan perak, dan Kemenpora menerima itu sebagai target resmi, kita seakan melegitimasi medali kelas dua sebagai hasil yang bisa diterima. Padahal bagi pemain dan pelatih seperti Indra Sjafri harapan tetap emas. Mereka datang membawa rasa tanggung jawab, bukan hitungan statistik.
Mematok target rendah bisa membuat beban sedikit lebih ringan. Tapi juga bisa membuat mimpi pecah sebelum nyali pemain benar-benar diuji.
Menurut pelatih Indra Sjafri, kalau ditanya ke pemain dan masyarakat, tentu ingin yang terbaik emas.
Sementara Menpora Erick Thohir, berpendapat target bukan untuk mengekang ambisi, melainkan sebagai tolok ukur realistis bagi pembinaan jangka panjang.
Bagi suporter dan lebih luas lagi, bagi jiwa sepak bola Indonesia penetapan target perak dulu terasa seperti bantahan halus terhadap harapan besar.
Jika kita ingin membangun nental juara bukan sekadar juara per hitungan maka jaring pengaman angka konservatif harus diimbangi dengan dukungan mental, kepercayaan publik dan keinginan untuk mimpi besar. (*)