Penyebab Banjir Sumatera Lebih Parah Dibandingkan Thailand dan Malaysia
Hasanudin Aco December 09, 2025 09:33 AM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Banjir bandang dan tanah longsor akhir November 2025 tidak hanya melanda tiga provinsi di Sumatera Indonesia.

Banjir juga melanda sejumlah negara di Asia Tenggara tetangga Indonesia, seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.

Namun Indonesia menghadapi jumlah korban jiwa yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangganya. 

Hingga Minggu (7/12/2025), data BNPB mencatat jumlah korban banjir bandang di Sumatera menyebabkan 940 meninggal dunia,  276 orang hilang, dan sekitar 5.000 orang terluka.

Jumlah korban jiwa diperkirakan bertambah mengingat skala bencana yang begitu luas.

Thailand dan Malaysia, yang juga terkena dampak Siklon Senyar, melaporkan jumlah korban tewas masing-masing sekitar 276 dan tiga orang.

Meskipun badai langka yang terbentuk di Selat Malaka sebagian besar telah berlalu, Indonesia masih berjuang keras mengatasi dampaknya.

Mengapa jumlah korban di Sumatera banyak?

Para ahli  mengatakan bahwa banyaknya jumlah korban banjir di Indonesia tidak dapat dijelaskan hanya oleh populasinya yang lebih besar yaitu lebih dari 280 juta jiwa.

Thailand memiliki populasi sekitar 71 juta jiwa.

Sementara jumlah penduduk Malaysia sekitar 34 juta jiwa. 

Namun ada beberapa faktor penyebabnya seperti penggundulan hutan, perencanaan tata ruang yang buruk, kesiapsiagaan bencana yang lemah, dan kerentanan geografis berkontribusi terhadap banjir dan diperparah oleh dampak perubahan iklim. 

“Indonesia sangat rentan terhadap tanah longsor dan banjir bandang, terutama karena kondisi tektonik dan geologisnya serta kondisi atmosfernya yang sangat labil,” kata Dwikorita Karnawati, pakar geologi lingkungan dan mitigasi bencana dari Universitas Gadjah Mada seperti dilansir CNA.

“Tanpa faktor eksternal sekalipun sudah rapuh, apalagi jika terjadi pembukaan lahan dan pemanfaatan lahan yang tidak tepat.”

Indonesia terletak di pertemuan lempeng tektonik utama yang menjadikannya bagian dari "Cincin Api" rentan terhadap curah hujan tropis yang tinggi dan bencana alam.

Dan saat para analis memperingatkan bahwa perubahan iklim akan menyebabkan anomali cuaca yang lebih sering terjadi di tahun-tahun mendatang, mereka mengatakan pemerintah harusnya lebih siap dan mengedukasi masyarakat untuk menghindari ancaman bencana alam.

AKIBAT SIKLON SENYAR

Siklon Senyar terbentuk di utara Selat Malaka, rilis Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia dari 2017 hingga bulan lalu.  

Siklon seperti itu jarang terjadi di sepanjang khatulistiwa, tetapi perubahan iklim telah menghangatkan atmosfer di wilayah tersebut, yang menyebabkan curah hujan yang lebih tinggi. 

Kepala BMKG saat itu Dwikorita mengatakan siklon tersebut merupakan fenomena atmosfer atau alam yang bermula dari daerah bertekanan rendah.

Siklon ini bermula di Sumatra, Indonesia, pada 26 November. 

"(Siklon) bergerak dari wilayah barat Sumatera Barat ke barat laut Sumatera Barat, lalu menuju Aceh dan kemudian Sumatera Utara. Siklon tersebut bergerak melalui darat," ujarnya.

BANJIR THAILAND - Upaya militer Thailand mendistribusikan bantuan bagi korban banjir di wilayah Hat Yai pada Selasa (25/11/2025)
BANJIR THAILAND - Upaya militer Thailand mendistribusikan bantuan bagi korban banjir di wilayah Hat Yai pada Selasa (25/11/2025) (Thairath)

Siklon biasanya tidak mendarat dan jika mendarat, kekuatannya akan melemah.

"Biasanya, jika siklon berada di laut dan masyarakat hanya terkena ekor siklon, maka mereka akan mengalami dampak tidak langsung yang tidak terlalu merusak berupa hujan lebat," kata Dwikorita. 

Namun hal ini tidak terjadi pada Siklon Senyar.

"Ini terjadi di darat. Makanya dampaknya di darat juga dahsyat," ujarnya. 

Dwikorita mengatakan bahwa daratan di Sumatera terbentuk oleh lempeng tektonik sehingga rentan terhadap tanah longsor dan banjir bandang.

Sementara Semenanjung Malaysia memiliki topografi yang lebih landai.

Itulah sebabnya jumlah korban tewas di Malaysia yang dilaporkan jauh lebih rendah. 

Ia mengatakan sebagian besar wilayah Indonesia terbentuk oleh lempeng tektonik sehingga jika terjadi siklon serupa di wilayah lain di nusantara, dampaknya bisa serupa.

DEFORESTASI DAN KONVERSI LAHAN

Situasi buruk ini diperburuk oleh penggundulan hutan besar-besaran dan alih fungsi lahan di Sumatera, kata para analis.

Deforestasi telah terjadi secara besar-besaran dalam dua dekade terakhir, kata Dwi Sawung, manajer kampanye infrastruktur dan perencanaan tata ruang  organisasi non-pemerintah, Walhi.

Hal ini mengakibatkan tanah kehilangan kemampuannya untuk menyerap air, yang mengakibatkan banjir bandang dan tanah longsor. 

Walhi mencatat dalam kurun waktu 2016 hingga 2025, sekitar 1,4 juta ha hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah mengalami deforestasi.

Hal ini disebabkan oleh aktivitas sekitar 631 perusahaan yang mengantongi izin pertambangan, izin pemanfaatan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, izin panas bumi, izin tenaga air, dan izin usaha mikrohidro.

Kiki Taufik, kepala kampanye Hutan Indonesia global di Greenpeace Indonesia, mengatakan bahwa meskipun beberapa konversi lahan dilakukan secara ilegal, sebagian besar dilakukan secara legal dengan izin dari pemerintah. 

“Jadi Kementerian Kehutanan harus bertanggung jawab karena yang memberi izin, begitu pula Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang memberi izin pertambangan, misalnya untuk menambang emas,” kata Kiki.

Ia menambahkan, Kementerian Lingkungan Hidup juga harus bertanggung jawab karena merekalah yang menerbitkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang di Indonesia merupakan syarat untuk memperoleh izin. 

Mahawan Karuniasa, pakar lingkungan dari Universitas Indonesia mengatakan, ada wilayah yang seharusnya bebas bangunan karena rawan bencana.

Namun terdapat pemukiman di sana karena banyak orang Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada tanah tersebut. 

Pemerintah daerah dan pusat belum mengawasi perencanaan tata ruang, tambahnya. 

SOLUSI JANGKA PANJANG

Meskipun kondisi geografis Indonesia tidak dapat diubah dengan mudah, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk mencegah bencana terjadi lagi, kata para analis. 

Ini termasuk meninjau semua izin yang diberikan kepada perusahaan untuk alih fungsi lahan. 

Pihak berwenang harus meminta pertanggungjawaban perusahaan dan membawa mereka ke pengadilan, kata Kiki Taufik dari Greenpeace Indonesia.

Pada tanggal 4 Desember, Menteri Kehutanan Indonesia Raja Juli Antoni mengatakan kepada anggota parlemen bahwa 20 izin hutan produksi yang mencakup 750.000 ha akan dicabut menyusul peninjauan pascabanjir di Sumatera.

"Kami menunggu persetujuan Presiden Prabowo Subianto untuk mengumumkan pencabutan tersebut," ujarnya dalam sidang di DPR.

Dwikorita dari Universitas Gadjah Mada juga mencatat bahwa jika suatu wilayah dianggap tempat yang berbahaya untuk ditinggali, orang harus pindah. 

Namun, ia mengakui hal ini tidak mudah karena banyak di antara mereka yang mungkin telah tinggal di lokasi tersebut selama puluhan tahun. 

KEWASPADAAN PENANGGULANGAN BENCANA

Badan penanggulangan bencana dan lembaga terkait juga harus diberikan anggaran yang lebih besar agar dapat bekerja lebih efektif dan membangun sistem peringatan yang efektif, kata para analis. 

“Keputusan anggaran perlu ditangani,” kata Mahawan dari Universitas Indonesia. 

“Jadi, saya pikir mengingat momentum ini, dengan prediksi peningkatan drastis bencana hidrometeorologi di masa mendatang, selain memiliki sistem peringatan dini, kita perlu meningkatkan kewaspadaan bencana dan menyediakan informasi yang valid dengan sinyal yang jelas.”

Selain mencegah dan mempersiapkan diri menghadapi bencana, pemerintah juga harus berkoordinasi lebih baik, kata Dwi dari Walhi. 

Ia mengatakan bahwa karena endapan lumpur tebal yang menutupi area yang luas, akses ke beberapa tempat terputus akibat jalan dan jembatan yang rusak.

Rumah dan bangunan tersapu dan tertutup lumpur sepenuhnya.

Jalan menuju pemulihan akan memakan waktu berbulan-bulan, tambahnya. 

“Masyarakat tidak bisa membersihkan rumah mereka sendirian. Mereka membutuhkan dukungan terkoordinasi, dapur umum, air bersih, dan logistik yang memadai,” ujar Dwi.

 "Mereka mengatakan bencana ini disebabkan oleh perubahan iklim. Namun, perubahan iklim sebenarnya juga merupakan akibat dari manusia."

Sumber: CNA

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.