Pengungsian Masih Belum Aman untuk Perempuan? Pakar Unair Ungkap Hal Penting Ini
GH News December 12, 2025 09:08 AM
Jakarta -

Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) Universitas Airlangga (Unair), Prof Myrtati Dyah Artaria menilai pentingnya menghadirkan pengungsian yang ramah bagi perempuan. Mengapa hal ini perlu diperhatikan?

Sosok yang akrab dipanggil Myrta itu menyatakan, perempuan menjadi sosok yang rentan menghadapi masalah kesehatan reproduksi, mental, hingga keamanan kala berada di pengungsian. Kondisi yang tidak aman bagi para perempuan, bisa berdampak buruk terutama bagi ibu baru.

Menurutnya, ketika bencana terjadi, struktur perlindungan sosial melemah karena setiap orang fokus menyelamatkan dirinya masing-masing. Bencana alam juga memaksa setiap orang mengalami perubahan lingkungan sosial yang tiba-tiba.

Misalnya, bagi perempuan biasanya mereka memiliki ruang privat tersendiri. Namun, ketika terjadi bencana dan mengharuskan tinggal di pengungsian mereka dipaksa bercampur dengan banyak orang dalam satu tempat.

Ketika kondisi perlindungan bagi perempuan melonggar, terdapat peluang untuk beberapa oknum memanfaatkan keadaan. Hal inilah yang ditekankan Myrta untuk dihindari sehingga pentingnya menciptakan pengungsian yang ramah perempuan.

"Hal seperti ini sangat bergantung pada budaya masyarakat mengenai bagaimana perempuan diperlakukan," katanya dikutip dari laman resmi Unair, Jumat (12/12/2025).

Kekerasan Berbasis Gender di Pengungsian

Menurut Myrta fenomena yang kerap terjadi di pengungsian dan menimpa perempuan adalah kekerasan berbasis gender (KGB). KGB dijelaskan sebagai tindak kekerasan terhadap seseorang berdasarkan perbedaan jenis kelamin mereka.

"Tindakan ini dapat berdampak pada kerugian atau penderitaan fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman, paksaan, atau perampasan kebebasan, baik di ranah publik maupun privat," jelas Myrta.

KGB pada dasarnya bisa terjadi pada siapa saja, tetapi anak dan perempuan adalah sosok yang paling rentan menjadi korban. Fenomena ini bisa terjadi biasanya karena beberapa faktor sosial, seperti budaya patriarki, ketidaksetaraan gender, rendahnya pendidikan, hingga penyalahgunaan kekuasaan.

"Risiko kekerasan berbasis gender juga dapat terjadi karena fisiologi laki-laki dan perempuan berbeda. Di mana dorongan sifat agresif itu lebih besar pada laki-laki karena secara hormonal mereka berbeda," urainya.

Pengungsian Ramah Perempuan

Lalu bagaimana cara agar KGB tidak terjadi? Mryta menilai perlu pendekatan empatik dalam pendampingan perempuan di dalam pengungsian.

Relawan yang membantu harus bisa menempatkan diri seperti layaknya posisi para pengungsi. Pastikan untuk memenuhi kebutuhan paling mendesak terlebih dahulu, barulah kebutuhan spesifik lainnya.

Kebutuhan pengungsi perempuan juga harus dipenuhi sesuai dengan norma yang mereka pegang. Untuk itu, para relawan yang menolong perlu mempelajari norma masing-masing daerah bencana sebelum terjun ke lapangan.

Kebutuhan spesifik bagi pengungsi perempuan juga tidak boleh disepelekan. Pastikan juga juga keamanan, privasi, dan martabat mereka tetap terjaga ketika proses pendampingan bantuan terjadi.

Terakhir, Myrta menekankan pentingnya penyediaan perlengkapan kebersihan yang memadai hingga kemudahan akses bagi pelayanan kesehatan. Korban bencana perempuan perlu mendapat dukungan kesehatan reproduksi dan psikologis.

"Lebih baik lagi jika ada mekanisme pelaporan yang aman dan rahasia untuk insiden kekerasan, serta staf yang terlatih dalam pencegahan dan respons terhadap KBG," tandas Myrta.

Devita Savitri
Jurnalis detikcom
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.