TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Banjir boleh surut, tapi beban rumah sakit tetap mengalir hingga berbulan-bulan.
Sebuah studi internasional berjudul “Hospitalization risks associated with floods in a multi-country study” menemukan bahwa peningkatan kasus di rumah sakit bisa berlangsung sampai 210 hari atau sekitar 7 bulan setelah banjir.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, menilai tingginya beban rumah sakit pasca bencana disebabkan keterbatasan sumber daya manusia, sarana prasarana, dan dukungan finansial.
“Rumah sakit tidak hanya menangani penyakit yang berhubungan dengan banjir, tetapi juga penyakit lain yang biasa terjadi di masyarakat sehari-hari. Jadi seperti beban ganda,” kata Prof Tjandra di Jakarta, Sabtu (14/12/2025).
Studi dan pengalaman lapangan menunjukkan 10 penyakit dominan pasca banjir:
Selain itu, faktor cuaca, tingkat keparahan banjir, kepadatan penduduk, pola umur korban, dan status sosial ekonomi turut memperberat beban layanan rumah sakit.
Data Kemenkes per 4 Desember 2025 mencatat:
Di Puskesmas Koto Alam, Agam, Sumatera Barat, suasana digambarkan mencekam: warga berlumuran lumpur datang dengan luka parah di kepala, dagu, bahkan patah tulang.
Ada pula korban meninggal yang dibawa ke lorong puskesmas.
Tenaga kesehatan TNI AL di kapal KRI juga melayani pengungsi banjir dengan keluhan diare, ISPA, leptospirosis, dan penyakit kulit.
Di lapangan, tenaga medis di RSUD Tamiang Aceh mengaku masih kewalahan.
Tim medis RSUP Haji Adam Malik (Medan, Sumatera Utara) melaporkan keluhan warga yang dominan: diare, ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), gangguan pencernaan, dan penyakit kulit.
Mereka juga membantu membersihkan RSUD Aceh Tamiang yang lumpurnya menimbun peralatan medis dan tempat tidur pasien.
Prof Tjandra menekankan pentingnya manajemen SDM dan logistik kesehatan di daerah bencana.
Tim manajemen krisis kesehatan di lapangan harus mengatur sumber daya yang tersedia dari berbagai pihak agar layanan tetap berjalan.
“Tentang ketersediaan tenaga kesehatan di daerah bencana. Pada dasarnya adalah manajemen SDM dan juga manajemen logistik kesehatan yang perlu diatur secara rapi. Tim manajemen krisis kesehatan di lapangan yang menangani pengaturannya di lokasi mengatur berbagai sumber daya yang pasti sudah ada di lapangan dari berbagai sumber,” tutur Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) ini.
Banjir dan dampaknya pada layanan kesehatan menunjukkan bahwa pemulihan tidak berhenti saat air surut.
Beban rumah sakit bisa bertahan berbulan-bulan, menuntut kesiapan SDM, logistik, dan dukungan finansial yang berkelanjutan.
Suara tim medis dan warga di Sumatera menegaskan bahwa krisis kesehatan pasca banjir adalah kenyataan yang harus dihadapi bersama.