Aceh dan Bencana yang tak Kunjung Diakui
mufti December 15, 2025 10:03 AM

Ir Jafaruddin MT, Anggota Tim Perumus UUPA

SUNGGUH sangat miris melihat kondisi Aceh hari ini. Air selalu datang lebih cepat daripada keputusan. Di Aceh dan wilayah Sumatera, banjir bandang berulang seperti alarm yang tak pernah benar-benar didengar. Nyawa melayang, rumah hanyut, sawah terkubur lumpur, jalan putus, dan kerugian harta benda tak terhitung lagi.

Setelahnya, yang tersisa bukan hanya puing, melainkan kelaparan, penyakit yang mendera, serta kelelahan psikis yang menekan hingga ke ubun-ubun. Namun hingga hari ini, bencana itu belum juga ditetapkan sebagai bencana nasional. Seolah-olah penderitaan mesti menunggu tanda tangan, sementara air tak pernah menunggu izin pengendali kekuasaan.Di kamp-kamp pengungsian, dapur umum hidup dari solidaritas warga. Korban membantu korban. Tetangga menguatkan tetangga. Negara hadir, tetapi sering seperti tamu: singgah, memotret, lalu pergi. Padahal, yang dibutuhkan bukan sekadar kehadiran simbolik, melainkan kebijakan yang memberi harapan bagi masa depan mereka yang rumah dan kehidupannya terkubur lumpur.

Dampak banjir bandang di Aceh hari ini jelas melampaui fase darurat. Kelaparan mulai menjadi rutinitas sunyi, layanan kesehatan kewalahan, dan trauma sosial tumbuh tanpa pendampingan memadai. Dalam konteks inilah, penetapan bencana nasional menjadi krusial, bukan kosmetik administratif. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan peran negara ketika dampak bencana meluas dan melampaui kapasitas daerah. Aceh telah lama berada pada titik itu.

Presiden Prabowo telah beberapa kali mengunjungi lokasi terdampak. Peta dibentangkan, arahan disampaikan. Kunjungan tentu penting, tetapi ia bukan kebijakan. Tanpa keputusan strategis terutama penetapan status bencana nasional, rehabilitasi dan rekonstruksi berjalan pincang. Koordinasi lintas kementerian tersendat, anggaran bergerak lambat, dan standar pemulihan tidak seragam. Yang tersisa bagi warga hanyalah janji yang menguap bersama genangan.

Di titik ini, kelelahan publik terasa nyata. Masyarakat sipil sejak awal menggalang bantuan, membuka dapur umum, dan menjadi relawan. Namun empati pun memiliki batas ketika negara tak kunjung mengambil alih tanggung jawabnya. Donasi menipis, relawan berkurang, dan rasa percaya perlahan aus. Bukan karena warga berhenti peduli, melainkan karena kepedulian tak bisa menggantikan kebijakan.

Pertanyaan yang kemudian muncul dan terasa pahit adalah soal kapasitas. Mampukah pemerintah pusat merehabilitasi dan merekonstruksi Aceh tanpa dukungan asing? Pertanyaan ini bukan cemooh, melainkan refleksi sejarah. Aceh pernah bangkit relatif cepat pascatsunami ketika bantuan internasional dibuka dengan tata kelola ketat dan pengawasan publik. Kini, pintu itu justru dirapatkan dengan alasan prosedural.

UUPA membuka ruang

Padahal, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberi ruang bagi Aceh untuk menjalin kerja sama dengan pihak luar negeri dalam kerangka tertentu. Spirit kekhususan itu jelas, memberi kelincahan agar Aceh dapat menyelamatkan warganya ketika keadaan mendesak. Jika hari ini bantuan asing dibatasi dengan dalih izin berlapis, patut dipertanyakan, di mana kekhususan itu bekerja saat nyawa dipertaruhkan?

Yang anehnya lagi, pada saat izin penebangan hutan dan eksploitasi sumber daya diajukan, pemerintah pusat tampak paling rajin meneken. Konsesi diberikan, hutan dipreteli, dan daerah tangkapan air menyempit. Data serta peringatan tentang meningkatnya bencana hidrometeorologi telah lama disuarakan, termasuk oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui berbagai rilis resmi terkait perubahan tata guna lahan. Namun ketika air bah datang sebagai akibatnya, prosedur mendadak menjadi kitab suci. Seolah-olah gergaji mesin tak perlu banyak tanya, sementara air harus antre izin.

Menahan penetapan bencana nasional dan membatasi bantuan asing kerap dibungkus jargon kedaulatan. Padahal, kedaulatan sejati justru tampak ketika negara berani membuka diri demi keselamatan rakyatnya, sambil memastikan transparansi dan akuntabilitas. Membuka kerja sama internasional bukan berarti menyerahkan kedaulatan, melainkan menggunakan seluruh sumber daya yang sah untuk melindungi warga. Lagi pula, hukum telah memberi rambu; yang diuji kini adalah kemauan politik.

Dalam praktiknya, tanpa status nasional, pemulihan berjalan tambal sulam. Rumah sementara berdiri tanpa kepastian relokasi, infrastruktur diperbaiki sekadarnya, dan mata pencaharian dibiarkan pulih sendiri. Ini bukan semata soal anggaran, melainkan arah. Rehabilitasi dan rekonstruksi membutuhkan peta jalan yang jelas: pemulihan ekosistem, penataan ulang ruang, serta perlindungan sosial jangka panjang. Semua itu menuntut komando nasional.

Tongkat komando

Air mungkin akan surut, tetapi ingatan tentang abainya kebijakan akan tinggal lama. Jika negara terus menimbang saat warganya tenggelam, jangan heran bila kepercayaan ikut hanyut. Menetapkan banjir bandang Aceh sebagai bencana nasional adalah langkah minimal untuk memulai pemulihan yang bermartabat. Membuka ruang kerja sama internasional sesuai Undang-Undang Pemerintahan Aceh adalah keberanian yang masuk akal.
Dalam konteks kepemimpinan nasional hari ini, publik teringat pernyataan Presiden Prabowo Subianto bahwa ia tidak memiliki tongkat Nabi Musa untuk membelah laut, tetapi ia memiliki tongkat komando. Pernyataan itu sejatinya jujur dan realistis. Tidak ada presiden yang bekerja dengan mukjizat. Namun justru di situlah letak harapan publik. Tongkat komando adalah simbol kewenangan, keputusan, dan kemampuan memerintah seluruh perangkat negara untuk bergerak serentak.

Aceh tidak meminta mukjizat. Rakyat Aceh tidak menunggu laut terbelah atau air banjir mengering dalam semalam. Yang ditunggu hanyalah penggunaan tongkat komando itu secara tegas dan berpihak. Ketika status bencana nasional ditetapkan, seluruh mesin negara bergerak dengan satu irama. Anggaran dipercepat, kementerian dipaksa berkoordinasi, dan pemerintah daerah tidak lagi berjalan sendiri. Tongkat komando bekerja bukan untuk mengusir air, melainkan untuk memotong kerumitan birokrasi yang selama ini justru lebih deras daripada banjir itu sendiri.

Sayangnya, yang terlihat di lapangan masih sebaliknya. Tongkat komando seolah ragu diangkat, sementara prosedur dijadikan tameng kehati-hatian. Padahal, Undang-Undang Penanggulangan Bencana sudah memberi dasar kuat bagi presiden untuk bertindak cepat dan luar biasa. Dalam situasi luar biasa, kehati-hatian yang berlebihan justru berubah menjadi kelambanan yang berbiaya kemanusiaan.

Kondisi ini makin ironis bila dikaitkan dengan keberanian negara dalam menerbitkan izin-izin eksploitasi sumber daya alam. Di sektor kehutanan dan pertambangan, tongkat komando terasa begitu ringan diayunkan. Namun ketika dampak ekologisnya datang dalam bentuk banjir bandang, kelaparan, dan penderitaan sosial, tongkat yang sama mendadak terasa berat untuk digerakkan.

Aceh tidak meminta keistimewaan baru. Aceh hanya menuntut agar kekhususan yang telah diatur dalam hukum benar-benar difungsikan, dan kewenangan presiden digunakan sepenuhnya untuk melindungi warga negara. Sebab, pada akhirnya, air selalu jujur, ia datang membawa akibat dari keputusan manusia. Yang kini ditunggu rakyat Aceh hanyalah satu hal, keputusan negara untuk berhenti menimbang, dan mulai memerintah.
Jangan biarkan masyarakat terkoyak luka lama. Trauma masyarakat Aceh dengan konflik dan tsunami belum benar-benar pulih seratus persen. Selama masih dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Aceh berhak mendapatkan perlakuan adil oleh negara.
 
 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.