Sosok Ida Budhiati, Ahli di Sidang Ijazah Gibran yang Sebut Gugatan Salah Alamat dan Sudah Selesai
December 15, 2025 05:32 PM

 

SURYA.co.id - Inilah sosok Ida Budhiati, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Bhayangkara, yang menjadi ahli di sidang gugatan perdata yang diajukan Subhan Palal terhadap riwayat pendidikan SMA Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Senin (15/12/2025). 

Sebelum memberikan keterangan, Ida Budhiati lebih dahulu diperiksa identitasnya di hadapan majelis hakim.

“Saya di Universitas Bhayangkara menjadi dosen tata hukum negara dan administrasi negara,” ujar Ida. 

Dalam sidang, Hakim Ketua Brelly Yanuar juga sempat bertanya soal pengalaman Ida memberikan kesaksian di persidangan.

“Saudara pernah jadi ahli sebelumnya di sidang?” tanya Hakim Brelly.

Baca juga: Sosok Iffa Rosita Anggota KPU yang Tolak Permintaan Penggugat Ijazah Wapres Gibran, Ini Alasannya

Ida menjawab ia pernah beberapa kali memberikan keterangan selaku ahli di beberapa perkara tentang pemilu.

“Pernah, di perkara pemilu,” jawab Ida.

Berikut pernyataan Ida Budhiati selengkapnya: 

  1. Gugatan salah alamat

Di sidang, Ida Budhiati yang hadir sebagai ahli Gibran dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini menyebut sidang gugatan perdata yang diajukan di PN Jakarta Pusat salah alamat. 

Menurut Ida, sidang gugatan ini seharusnya diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

“Dalam lingkup ranah hukum publik yang berupa tindakan untuk membuat peraturan keputusan, maka mekanisme pertanggungjawabannya itu sesuai dengan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan juga Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, itu menjadi otoritas atau kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN),” kata Ida, pada Senin (15/12/2025).

Menurut Ida, perkara yang berkaitan dengan dugaan penyelewengan kewenangan pejabat dalam pelaksanaan suatu agenda negara bukan ranah pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengadili.

“Maka sesuai dengan UU Administrasi Pemerintahan dan UU PTUN, itu kompetensi absolut dari PTUN dan bukan menjadi kewenangan dari pengadilan negeri,” lanjut Ida.

Ida menuturkan, pejabat negara, misalnya anggota KPU, bisa digugat ke peradilan negeri jika tindakan melawan hukum yang dilakukan masuk ke ranah hukum privat.

Misalnya, dalam menjalankan tugas sebagai pelaksana Pemilu, KPU perlu memastikan logistik berjalan dengan baik.

Untuk menjamin logistik pemilu dilaksanakan dengan lancar, KPU diperbolehkan menjalin kerja sama dengan pihak ketiga.

Jika dalam kerja sama ini KPU melakukan wanprestasi dan digugat oleh pihak ketiga, gugatan ini merupakan kewenangan bagi pengadilan negeri untuk mengadili.

2. Putusan PTUN harus diterima

Ida menilai bahwa jika Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sudah menjatuhkan vonis untuk sebuah sengketa, objek permasalahannya seharusnya tidak digugat lagi ke pengadilan negeri.

“Suka tidak suka, kemudian puas atau tidak puas, maka putusan Pengadilan Tata Usaha Negara itu harus diterima. Dan tidak memberikan beban kepada peradilan lain di bawah tadi ya (pembinaan) Mahkamah Agung,” ujar Ida dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (15/12/2025).

Ida menilai, meski Gibran digugat dalam kapabilitas sebagai warga negara, gugatan perdata ini tetap menjadi kewenangan PTUN untuk mengadili karena tidak terlepas dari penyelenggaraan Pemilu yang menjadi obyek PTUN.

3. Sudah selesai 

Ida Budhiati menilai, seorang warga negara kehilangan kesempatan untuk menggugat dugaan pelanggaran dalam Pemilihan Umum (Pemilu) jika proses Pemilu sudah selesai dilaksanakan.

“Berkaitan dengan sengketa, bahwa warga negara kemudian mengetahui (ada dugaan pelanggaran) setelah pemilu berakhir, maka menurut kerangka hukum pemilu, kehilangan kesempatan untuk mengajukan komplain mengajukan sengketa,” ujar Ida, Senin (15/12/2025). 

Ida mengatakan, masyarakat telah diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan ketika menemukan adanya kejanggalan saat proses Pemilu masih berlangsung.

Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pemilu.

“Warga negara itu dibuka kesempatan untuk mengajukan keberatan-keberatan atau meminta akuntabilitas dari pelaksanaan tugas pejabat administrasi negara di bidang kepemiluan,” ujar Ida.

Namun, keberatan ini harus diajukan saat Pemilu masih berlangsung dan pada tahap yang sesuai.

Misalnya, untuk sengketa pencalonan presiden dan wakil presiden, diajukan sebelum calon ini ditetapkan sebagai pasangan calon.

Ida mengatakan, batas waktu ini juga harus ditaati oleh warga negara yang hendak mengajukan keberatan.

“Dan warga negara itu harus mematuhi kapan waktunya yang disediakan UU,” imbuh dia. Selain itu, Ida menilai, obyek gugatan perdata ini masuk ke ranah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Sebab, yang digugat adalah dugaan pelanggaran yang dilaksanakan oleh KPU selaku penyelenggara negara.

Ida menilai, meski Gibran digugat dalam kapabilitas sebagai warga negara, gugatan perdata ini tetap menjadi kewenangan PTUN untuk mengadili karena tidak terlepas dari penyelenggaraan Pemilu yang menjadi obyek PTUN.

Sosok Ida Budhiati

Ida Budhiati lahir di Semarang pada tanggal 23 November 1971.

Ida Budhiati adalah mantan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). 

Ida menjabat di DKPP sejak 2012 atau saat kepemimpinan Profesor Jimly Asshiddiqie sebagai perwakilan KPU.

Setelah tak menjadi komisioner KPU, Ida terpilih menjadi anggota DKPP periode 2017-2022 dan 2022-2027.

Sebelumnya, Ida menjadi anggota KPU Daerah Jawa Tengah periode 2003-2008. 

Ketua KPU Jawa Tengah pada 2008-2012, hingga menjadi anggota KPU RI pada 2012-2017.

Selain aktif di dunia kepemiluan, Ida juga banyak terlibat di bidang hukum, misalnya menjadi relawan Lembaga Bantuan Hukum Semarang pada 1994–1995 dan Asisten Pembela Umum Lembaga Bantuan Hukum Semarang pada 1995–1996.

Selain itu, dia juga pernah menjadi Koordinator Divisi Lingkungan dan Perburuhan Lembaga Bantuan Hukum di Semarang pada 1996–1997. 

Kemudian Divisi Pelayanan Hukum LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta pada 1997–2001, menjadi Lawyer pada Kantor Ida Budhiati, Hadi & Partners pada 2001–2003, hingga menjadi Direktur LBH APIK Semarang pada 2004–2008.

Dia juga beberapa kali menerbitkan tulisan atau makalah terkait pemilu.

Saat menjadi anggota DKPP. Ida ikut mengadili berbagai kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu.

Sejak DKPP dibentuk pada 2012 hingga akhir Oktober 2017, DKPP sudah menyidangkan 903 perkara. Hasilnya, 449 penyelenggara pemilu diberhentikan tetap, 1968 direhabilitasi dan 45 orang diberhentikan sementara.

Gugatan Subhan Palal

OGAH DAMAI - Kolase foto Wapres Gibran Rakabuming (kiri) dan Subhan Palal (kanan).
OGAH DAMAI - Kolase foto Wapres Gibran Rakabuming (kiri) dan Subhan Palal (kanan). (Kolase tribunnews)

Dalam petitumnya, Subhan menuntut agar Gibran dan KPU dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, serta meminta ganti rugi immateriil senilai Rp 125 triliun.

Gugatan tersebut berangkat dari dugaan adanya ketidaksesuaian dalam riwayat pendidikan Gibran yang menjadi salah satu syarat pencalonan wakil presiden. 

Berdasarkan data KPU RI, Gibran tercatat bersekolah di Orchid Park Secondary School, Singapura (2002–2004) dan UTS Insearch Sydney (2004–2007), yang keduanya merupakan jenjang setara SMA.

Namun, Subhan menegaskan bahwa persoalan utama dalam gugatan ini bukan terkait kelulusan, melainkan lokasi tempat Gibran menempuh pendidikan.

Untuk itu, ia meminta majelis hakim menyatakan Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum, serta menyatakan status Gibran sebagai wakil presiden tidak sah.

Selain itu, dalam petitumnya, penggugat juga menuntut Gibran dan KPU untuk membayar ganti rugi kepada negara.

 “Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” bunyi petitum tersebut.

Subhan Palal menegaskan bahwa uang ganti rugi senilai Rp 125 triliun yang ia tuntut tidak akan digunakan untuk kepentingan pribadi.

Ia berkomitmen untuk menyetorkannya langsung ke kas negara apabila majelis hakim mengabulkan gugatan tersebut.

Menurut Subhan, kasus yang ia ajukan bukan hanya menyangkut dirinya, melainkan seluruh rakyat Indonesia.

“Karena yang ini perbuatan melawan hukum, korbannya sistem negara hukum.

Maka sistem negara hukum ini adalah negara yang milik seluruh warga negara Indonesia,” ujar Subhan saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (15/9/2025), melansir dari Kompas.com.

Ia menambahkan, uang kompensasi itu sebaiknya kembali kepada rakyat.

“Maka uang (ganti rugi) itu akan saya minta disetor ke kas negara untuk warga negara lagi, kembali ke warga negara,” imbuhnya.Menurut perhitungannya, bila jumlah penduduk Indonesia sekitar 285 juta jiwa, maka setiap orang hanya akan menerima sekitar Rp 450 ribu. 

“Jumlah warga negara kita sekarang berapa? 285 juta, (Rp 125 triliun) bagi itu, (per orang kira-kira dapat) Rp 450.000, enggak ada 1 ember kan. (Hitungan uang ganti rugi) dari sana. Bukan asal-asal ada,” kata Subhan.

Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2025/12/15/12483681/ahli-nilai-gugatan-terhadap-gibran-terlambat-pemilu-sudah-selesai?page=all#page2.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.