Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Fenomena panas ekstrem terjadi sejumlah wilayah di Indonesia. Suhu pun mencapai lebih dari 37 derajat celsius.
Cuaca terik ini tentu membuat tubuh bereaksi, tak sedikit yang tumbang akibat cuaca panas ini.
Baca juga: Cuaca Panas Ekstrem di Jabodetabek, Pakar Ingatkan Risiko Heat Stroke hingga Kematian
Gangguan kesehatan, mulai batuk, pilek, influenza hingga heat stroke jadi ancaman yang tak bisa disepelekan.
Dokter dan ahli epidemiologi Dr. Dicky Budiman, menekankan pentingnya langkah adaptif untuk melindungi diri dari risiko kesehatan akibat cuaca panas ekstrem.
“Cara menghadapi cuaca panas ekstrem itu bisa dilakukan masyarakat, pertama tentu perlindungan individu, ya. Jadi memperbanyak minum air putih, bahkan sebelum merasa haus,” ujar Dicky pada keterangannya, Kamis (16/10/2025).
Menurutnya, rasa haus merupakan tanda tubuh sudah mulai kekurangan cairan.
Baca juga: Doa saat Cuaca Panas dan Kemarau Panjang, Meminta agar Hujan Turun
Ia menyarankan agar masyarakat juga menggunakan pakaian longgar, berwarna terang, dan berbahan ringan untuk membantu tubuh tetap sejuk.
Selain itu, ia menekankan pentingnya menghindari aktivitas berat di luar ruangan terutama pada pukul 10.00 hingga 15.00, saat radiasi panas matahari berada pada puncaknya.
“Gunakan pelindung diri seperti topi lebar, payung, ataupun tabir surya. Juga dinginkan tubuh secara berkala dengan mandi air sejuk atau berada di ruangan ber-AC atau teduh,” kata Dicky.
Dicky menjelaskan, cuaca panas ekstrem memiliki dampak fisiologis dan klinis yang serius terhadap tubuh manusia.
Mulai dari dehidrasi hingga kondisi darurat medis seperti heat stroke.
“Heat stroke ini kondisi darurat medis, ya. Terjadi ketika suhu tubuh naik di atas 40 derajat Celcius dan sistem pengatur suhu tubuh gagal. Gejalanya bisa berupa kebingungan, hilang kesadaran, tidak berkeringat lagi, bahkan kejang,” jelasnya.
Ia menambahkan, jika tidak segera ditangani, kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan otak bahkan kematian.
Karena itu, masyarakat diimbau untuk mengenali gejala awal seperti lemas, pusing, mual, berkeringat berlebihan, dan denyut jantung cepat.
Selain itu, kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, ibu hamil, serta penderita penyakit kronis juga berisiko lebih tinggi terhadap dampak panas ekstrem.
“Anak-anak, lansia, ibu hamil, juga orang dengan penyakit kronis seperti hipertensi, jantung, atau diabetes ini berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi akibat stres panas,” ungkapnya.
Baca juga: 8 Tips Ampuh Hadapi Cuaca Panas Ekstrem dan Tetap Sehat di Musim Pancaroba
Dicky mengingatkan, fenomena panas ekstrem harus menjadi peringatan nyata tentang kondisi lingkungan perkotaan yang semakin tidak sehat.
“Sekali lagi, fenomena panas ekstrem ini adalah peringatan nyata dari dampak perubahan iklim dan kondisi lingkungan perkotaan kita yang makin nggak sehat,” tegasnya.
Selain langkah individu, ia juga menyoroti perlunya perlindungan lingkungan yang lebih luas.
Salah satu langkah penting adalah memperbanyak area hijau di wilayah perkotaan.
“Perbanyak area hijau, jadi hutan-kota, pepohonan di sekitar rumah. Ini sangat penting karena vegetasi membantu menurunkan suhu lingkungan,” ujarnya.
Ia juga mendorong masyarakat untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi umum ramah lingkungan seperti bus listrik.
“Karena sekali lagi kendaraan pribadi itu memicu emisi panas dan polutan,” tambahnya.
Lebih lanjut, Dicky menilai pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan sistem peringatan dini terhadap gelombang panas dan meningkatkan literasi publik terkait penanganan heatstroke.
“Pemerintah dan dinas kesehatan perlu melakukan semacam early warning system atau sistem peringatan dini terhadap gelombang panas. Juga literasi publik tentang tanda-tanda heatstroke dan penanganan awal,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa selain adaptasi individu, langkah mitigasi jangka panjang seperti penghijauan, tata kota ramah iklim, dan pengendalian polusi udara menjadi kunci menghadapi ancaman panas ekstrem di masa depan.
“Maka, selain langkah-langkah adaptif di tingkat individu, kita juga perlu langkah mitigasi jangka panjang seperti penghijauan dan pengelolaan tata kota yang ramah lingkungan,” pungkas Dicky.
Menurutnya, kawasan perkotaan seperti Jakarta dan sekitarnya menyimpan panas lebih lama karena banyaknya permukaan beton dan aspal serta minimnya ruang hijau.
“Kondisi di mana kawasan perkotaan menyimpan panas lebih lama karena banyaknya beton, aspal, dan juga minimnya vegetasi atau hutan. Ini yang hutan-kotanya minim sekali,” katanya pada Tribunnews, Kamis (16/10/2025).