TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Banyak pasien penyakit radang usus kronis atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) terlambat terdiagnosis karena gejalanya menyerupai penyakit pencernaan lain seperti mag dan tipes.
Kondisi ini membuat pengobatan menjadi lebih sulit dan risiko komplikasi semakin besar.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) sekaligus konsultan lambung dan pencernaan, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH., MMB, menyampaikan bahwa salah satu penyebab keterlambatan diagnosis adalah karena keluhan awal IBD mirip gangguan pencernaan ringan.
Baca juga: Radang Usus Makin Sering Menyerang Usia Produktif, Kenali Gejala dan Bahayanya
“Mules-mules nyeri karena memang sejatinya terjadi peradangan di usus. Bisa diare, bisa juga sulit BAB, berat badan turun, pucat, lemas,” kata Prof. Ari dalam acara Edukasi Media Pekan Kesadaran Kolitis Ulseratif dan Penyakit Crohn 2025: Kenali IBD (Inflammatory Bowel Disease) oleh Yayasan Gastroenterologi Indonesia (YGI) di Jakarta, Selasa (9/12/2025).
Banyak pasien datang ke fasilitas kesehatan setelah mengalami keluhan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tidak sedikit pula yang menerima diagnosis awal seperti:
Untuk memastikan IBD, dokter biasanya melakukan evaluasi komprehensif, mulai dari pemeriksaan darah, tes feses (seperti fecal calprotectin), hingga kolonoskopi.
Pada kasus tertentu, hasil awal dapat menyerupai penyakit lain. Prof. Ari mencontohkan kasus Crohn Disease yang sering disangka sebagai radang usus buntu atau tipes.
Ia menceritakan, pernah mendapati pasien yang menjalani operasi usus buntu, namun setelah jaringan diperiksa melalui patologi anatomi, ternyata hasilnya menunjukkan Crohn Disease.
“Dioperasi oleh dokter bedah, diperiksa jaringannya, ternyata ditemukan Crohn Disease. Jadi ini bukan salah diagnosis karena klinisnya memang kesakitan,” jelasnya.
Waspadai jika Anda merasakan beberapa gejala berikut dalam jangka panjang:
Keluhan ini bisa muncul bergelombang, diikuti periode tenang (remisi), lalu kembali kambuh (relapse).
Tanpa pemeriksaan mendalam seperti kolonoskopi, sulit membedakan IBD dari penyakit pencernaan lain.
Deteksi dini memungkinkan terapi yang lebih sederhana dan risiko komplikasi lebih kecil.
Jika telat ditangani, IBD dapat menyebabkan penyempitan usus, perdarahan hebat, atau membutuhkan tindakan operasi.
Prof. Ari menegaskan, kunci utama adalah pemeriksaan tepat dan berulang.
“Kenapa lebih dini diketahui? Obatnya lebih gampang. Itu umum, termasuk untuk mencegah komplikasi,” ujarnya.
(Tribunnews.com/ Aisyah Nursyamsi)