Fenomena perceraian di usia senja atau gray divorce kian menjadi perhatian. Setelah puluhan tahun membina rumah tangga, tidak sedikit pasangan justru berpisah ketika anak-anak telah mandiri dan fase hidup memasuki masa pensiun. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menilai, salah satu pemicu yang kerap luput disadari adalah kebiasaan berpura-pura bahagia demi menjaga citra rumah tangga.
"Ketidakbahagiaan yang disangkal justru paling berbahaya. Hadapi secara jujur, bicarakan, dan cari jalan keluarnya bersama. Pura-pura bahagia hanya akan merusak hubungan secara perlahan," tegas Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kemenkes RI, dr Imran Pambudi, MPHM, saat dihubungi detikcom Selasa (16/12/2025).
Ia menegaskan penuaan yang sehat (healthy aging) dalam pernikahan tidak hanya soal fisik, tetapi juga menyangkut kesehatan emosional, mental, dan spiritual pasangan.
"Banyak pasangan yang tampak baik-baik saja di luar, tapi sebenarnya memendam ketidakbahagiaan bertahun-tahun. Ini seperti bom waktu. Jika tidak dihadapi secara nyata dan dicari solusinya, konflik akan menggerogoti hubungan secara perlahan," kata Imran.
Menurutnya, sering muncul pada fase transisi besar dalam hidup, seperti pensiun atau sindrom sarang kosong (empty nest), ketika pasangan kembali berhadapan satu sama lain tanpa distraksi peran sebagai orang tua.
Imran menekankan pentingnya komunikasi yang jujur dan terbuka sebagai fondasi utama mencegah perceraian di usia matang. Konflik yang dipendam justru memperlebar jarak emosional.
"Jangan menunda pembicaraan penting. Bicarakan ketidaknyamanan, kekecewaan, atau perbedaan dengan cara yang sehat. Dengarkan pasangan untuk memahami, bukan sekadar menunggu giliran membalas," ujarnya.
Ciptakan Momen Romantis
Ia juga menyarankan pasangan untuk menciptakan kembali kebersamaan setelah anak mandiri, misalnya melalui hobi bersama, olahraga ringan, atau kegiatan sosial yang memberi makna baru dalam hubungan.
Selain komunikasi, kesehatan spiritual dan mental dinilai berperan besar dalam menjaga keutuhan pernikahan di usia senja. Imran menyebut ibadah bersama dapat memperkuat ikatan batin pasangan.
"Melihat pasangan sebagai amanah, bukan beban, akan mengubah cara kita bersikap. Ibadah bersama, doa, atau refleksi spiritual membantu pasangan lebih sabar dan empatik," jelasnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya kesadaran diri () untuk mengelola emosi, terutama saat menghadapi perubahan peran seperti pensiun, menopause, atau penurunan kesehatan.
Menjadi Tim saat Menua
Dalam fase lanjut usia, Imran menilai pasangan perlu memosisikan diri sebagai satu tim. Menyusun tujuan bersama, mulai dari rencana pensiun hingga aktivitas di masa tua, dapat memberi arah dan makna baru dalam pernikahan.
Saling menghormati, memberi ruang bagi pasangan untuk berkembang, serta menerima perubahan menjadi kunci agar pernikahan tetap sehat.
Jika konflik terasa buntu, Imran menyarankan pasangan tidak ragu mencari bantuan profesional, termasuk konseling pernikahan, meski usia sudah tidak muda.
"Konseling bukan tanda kegagalan, tetapi bentuk tanggung jawab untuk merawat hubungan. Bahkan di usia senja, relasi tetap bisa diperbaiki dan disembuhkan," ujarnya.







