Mengapa Kita Lebih Mencintai Tanggap Darurat daripada Mencegah Bencana?
December 16, 2025 04:55 PM

oleh : Yan Agus Supianto - Pemerhati Kebencanaan

TRIBUNJABAR.ID - Kita hidup di dunia yang sering dihadapkan pada krisis, mulai dari bencana alam, pandemi, hingga konflik. Dalam menghadapi berbagai tantangan ini, sebuah pola yang berulang terus terlihat: respons yang heroik dan dramatis selalu mendapat sorotan, sementara upaya pencegahan yang sunyi dan stabil sering terlupakan.

Naluri kolektif kita tampaknya lebih condong kepada peran "pemadam kebakaran" alih-alih "arsitek tahan api". Fenomena ini, menurut Yan Agus Supianto, Pemerhati Kebencanaan, disebabkan oleh perpaduan antara bias psikologis manusia dan realitas investasi data yang mengejutkan.

Jebakan Pikiran: Sensasi dan Bias Optimisme

Sebaliknya, keberhasilan pencegahan—misalnya, pembangunan infrastruktur tahan gempa atau penanaman bakau—adalah ketiadaan peristiwa, yaitu bencana yang tidak terjadi, sehingga sulit diukur dan kurang menarik secara emosional.

Selain itu, ada pula Bias Optimisme (Optimism Bias). Banyak orang meyakini bahwa nasib buruk cenderung menimpa orang lain, yang membuat mereka meremehkan risiko yang mungkin dihadapi. Keyakinan "itu tidak akan terjadi pada saya" ini menjadi hambatan kuat untuk menginvestasikan waktu, uang, dan upaya dalam tindakan pencegahan yang membutuhkan waktu lama.

Realitas Anggaran dan ROI Pencegahan yang Spektakuler

Kecenderungan untuk memprioritaskan respons darurat ini tidak hanya terjadi di tingkat psikologis, tetapi juga tercermin dalam alokasi anggaran yang pincang, meskipun bukti ekonomi menunjukkan sebaliknya.

Di Indonesia, data di sektor kesehatan menunjukkan bahwa pengeluaran cenderung berpusat pada upaya kuratif (pengobatan penyakit) daripada preventif (pencegahan). 

Studi memperlihatkan bahwa belanja preventif-promotif hanya sebagian kecil dari total belanja kesehatan. Alokasi dana untuk pengobatan dan rumah sakit (kuratif) jauh lebih tinggi, dan dana yang dikeluarkan untuk menanggulangi penyakit kronis jauh melampaui biaya pencegahan yang lebih efektif dan murah.

Paradoksnya, investasi dalam pencegahan justru menawarkan pengembalian yang jauh lebih besar dan merupakan asuransi finansial terbaik bagi negara. Bukti-bukti dari berbagai sektor global menunjukkan rasio Return on Investment (ROI) yang sangat meyakinkan:

• Mitigasi Bencana Alam di AS: Setiap $1 yang diinvestasikan dalam upaya mitigasi bencana (misalnya, kode bangunan yang lebih baik) di Amerika Serikat menghasilkan rata-rata pengembalian $6 dalam bentuk kerugian yang dihindari di masa depan, yang merupakan rasio 6:1.
• Sistem Peringatan Dini: Berinvestasi hanya $800 juta untuk sistem peringatan dini di negara-negara berkembang dapat menghindari kerugian hingga $3-16 miliar per tahun, terutama di sektor pertanian dan kelautan.

• Program Kesehatan (Imunisasi): Setiap $1 yang dihabiskan untuk program imunisasi di negara berpendapatan rendah dan menengah dapat menghasilkan rata-rata pengembalian $44 dalam bentuk manfaat ekonomi bersih, termasuk penghematan biaya kesehatan dan peningkatan produktivitas, yaitu rasio 44:1 yang menakjubkan.

Bukti ini sangat jelas, biaya yang dikeluarkan untuk respons darurat—mulai dari evakuasi, pembangunan kembali infrastruktur, hingga perawatan korban—jauh melampaui investasi pencegahan yang proaktif. Di Indonesia, kerugian ekonomi tahunan akibat bencana alam diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah, yang merupakan pemborosan modal yang seharusnya dapat diselamatkan melalui mitigasi.

Dari Heroisme ke Ketahanan

Untuk mengubah situasi ini, pergeseran paradigma sangat diperlukan, dan ini membutuhkan lebih dari sekadar data, tetapi juga perubahan narasi kolektif. Kita harus mulai menghargai stabilitas dan keheningan yang dihasilkan oleh pencegahan.

Jurnalisme dan pembuat kebijakan perlu mulai menyoroti "bencana yang dihindari" untuk mengubah metrik kesuksesan. Kampanye kesadaran harus menggarisbawahi dampak positif jangka panjang dari investasi pencegahan, beralih dari memuji kecepatan tanggap ke memuji ketahanan yang stabil.

 Kebijakan publik juga harus didorong untuk melihat mitigasi bukan sebagai biaya operasional, melainkan sebagai investasi strategis untuk masa depan bangsa, didukung oleh instrumen pembiayaan risiko bencana yang fokus pada prabencana.

Saatnya kita beralih dari kekaguman sesaat terhadap respons darurat yang gemuruh, menuju penghargaan yang stabil dan mendalam terhadap ketangguhan yang dibangun melalui upaya pencegahan yang sunyi. Heroisme sejati bukanlah saat menyelamatkan korban, tetapi saat membuat penyelamatan menjadi tidak perlu.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.