TRIBUNNEWS.COM, ACEH - Lahan pertanian warga porak poranda akibat banjir bandang yang menerjang Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Bencana alam tersebut terjadi pada November 2025 itu.
Areal persawahan petani telah sejajar dengan jalan yang tertimbun tanah lumpur padat.
Para petani menyampaikan harapan agar pemerintah memberikan bantuan tunjangan hidup sementara bagi masyarakat terdampak. Bantuan tersebut diusulkan dapat diberikan sekurang-kurangnya selama enam bulan, sembari menunggu pemulihan kondisi pertanian.
Masyarakat juga meminta perhatian pemerintah agar melakukan rehabilitasi lahan persawahan yang rusak agar aktivitas pertanian dapat kembali berjalan normal pascabencana.
Harapan tersebut disampaikan warga ketika berdialog dengan Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan di Aceh.
Baca juga: Bantu Petani Terdampak Banjir Bandang di Sumatera, Sarana dan Prasarana Pertanian Mulai Dikirim
Zulkifli Hasan menyambangi Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, serta Kecamatan Kuta Blang, Kabupaten Bireuen.
“Lahan kami tidak bisa ditanami karena tertutup lumpur. Kami berharap ada bantuan tunjangan hidup dan perbaikan lahan supaya bisa kembali bertani,” ujar seorang petani saat berdialog dengan Zulhas.
Data sementara mencatat lebih dari 2.000 hektare lahan persawahan di dua wilayah tersebut mengalami kerusakan parah.
Selain meninjau area persawahan, Zulkifli Hasan juga mengecek Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang dialihfungsikan menjadi dapur umum darurat bagi warga terdampak bencana.
Salah satu lokasi yang dikunjungi yakni SPPG Geulanggang Baro di Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen.
Dalam kesempatan tersebut, Zulhas menekankan agar SPPG tetap menyediakan kebutuhan pangan yang sehat dan bergizi bagi masyarakat terdampak, sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Badan Gizi Nasional.
Warga mengaku kini dalam keadaan sulit akibat persawahan petani telah sejajar dengan jalan yang tertimbun tanah lumpur padat.
"Lahan pertanian kami telah tertimbun tanah lumpur. Kita sulit membersihkan, sebab ketinggian lumpur hampir 1 meter," kata Keuchik Beringin, Kecamatan Meurah Dua, Muhammad Isa, kepada Serambinews.com, Minggu (14/12/2025).
Ia menyebutkan, lahan pertanian yang tertimbun lumpur di Gampong Beringin seluas 32 hektare.
Saat ini, sawah yang tertimbun lumpur telah sejajar dengan jalan.
Sehingga petani khawatir lahan sawah produktif itu tidak bisa lagi digarap oleh petani untuk menanam padi.
Sebab, tanah lumpur sangat tebal menumpuk melekat di atas tanah sawah.
"Warga kami disini rata-rata berprofesi sebagai petani bercocok tanam di sawah.
Jika kami tidak bisa menggarap lagi sawah, otomatis petani hilang pekerjaan," jelas Muhammad Isa.
Baca juga: Banjir Sumatera dan Kejujuran Negara Membaca Kenyataan
Dikatakan, petani disini sangat mengharapkan kepada pemerintah, agar lahan pertanian itu segera dibersihkan lumpur.
Menurutnya, di masa tanggap darurat itu seharusnya areal persawahan menjadi perhatian untuk melakukan pembersihan. Sehingga petani tidak lama harus menunggu untuk bisa menggarap sawah.
"Masa tanggap darurat ini memang masih banyak batuan mengalir untuk kami.
Tapi, bagaimana ketika bantuan tidak ada lagi, sehingga masyarakat butuh makan dan minum. Sementara lahan pertanian masih rusak," jelasnya.
Lahan pertanian rusak capai 734 hektare
Berdasarkan dana diperoleh Serambinews.com, dari Badan Penanggulangan Bencana atau BPBD Pidie Jaya, bahwa kerusakan lahan pertanian di Pidie Jaya mencapai 734 hektare.
Lalu, Bandar Baru 93 hektare, Trienggadeng 10 hektare, Meureudue 27 hektare, Meurah Dua 279 hektare, Ulim 13 hektare, Jangka Buya 160 hektare dan Bandar Dua 152 hektare.
54 Ribu Warga Bireun Mengungsi
Hingga Minggu (14/12/2025), tercatat lebih dari 54 ribu jiwa dari dari 17 kecamatan di Kabupaten Bireuen masih bertahan di posko pengungsian.
Banjir besar yang disertai arus deras menghancurkan ribuan rumah warga.
Banyak rumah hilang, rusak berat, tertimbun lumpur, bahkan sebagian masih tergenang udara.
Mereka bertahan dengan kondisi tersebut disebabkan banyak rumah mereka hilang, rusak berat, penuh dengan endapan lumpur maupun infrastruktur yang rusak.
Infrastruktur seperti listrik dan jalan juga belum sepenuhnya pulih, membuat warga kesulitan kembali ke rumah masing-masing.
Pantauan di lapangan menunjukkan ribuan warga mengungsi di masjid, meunasah, tenda darurat, kantor keuchik, hingga rumah warga yang masih layak huni.
Amatan Serambinews.com di Mesjid Ulee Tutue, Kutablang, seribuan warga bermalam di masjid tersebut.
Kemudian banyak warga di meunasah setempat dengan kondisi membuka dapur umum.
Kondisi serupa terlihat di Desa Punjot Jangka, Ulee Ceu, Kuala Ceurape, Cot Ara, Keurembok, serta berbagai desa lain di Gandapura, Peusangan, Peusangan Selatan, Peusangan Siblah Krueng, dan Juli.
Aktivitas pengungsi berlangsung sederhana.
Kaum ibu memasak di badan jalan atau dekat meunasah yang rusak, dengan menu seadanya seperti ikan kaleng dan ikan asin.
Saat malam tiba, aktivitas berkurang karena listrik masih padam.
Kondisi yang sama juga terlihat di Desa Alue Kuta, Jangka Bireuen mereka memasak di badan jalan dekat meunasah dan juga pinggir tambak udang yang rusak.
Camat Kutablang, Erizal, menyebut ribuan warga belum bisa pulang karena rumah mereka hilang atau tertimbun lumpur.
Hal senada disampaikan Camat Jangka, Mulyadi SP MSM, yang menegaskan banyak warga tidak tahu kapan bisa kembali karena rumah sudah tidak ada lagi.
Data sementara mencatat 14.079 kepala keluarga atau 54.517 jiwa masih mengungsi.
Korban jiwa akibat banjir bandang ini mencapai 29 orang meninggal dunia dan 4 orang masih hilang.
Musibah ini menjadi salah satu bencana terbesar yang menimpa Bireuen dalam beberapa tahun terakhir, dengan dampak sosial dan ekonomi yang sangat luas.
Pemerintah daerah bersama relawan terus berupaya menyalurkan bantuan dan memulihkan kondisi warga yang terdampak. (Tribunnews/Serambi)