Kisah Bidan Fetri Menolong Puluhan Korban Banjir Sumatra saat Piket Malam
December 16, 2025 07:48 PM

 

TRIBUNJATIM.COM - Pengorbanan bidan Fetri Yuherna di Agam Sumatra Barat (Sumbar) berjuang menolong para korban banjir bandang.

Bidan Fetri bertugas ikut menangani pasien yang terus berdatangan imbas banjir Sumatra, Kamis (27/11/2025) malam.

Fetri bahkan sempat dilema antara memilih tugasnya dan mengkhawatirkan kondisi anak di rumah.

Hingga akhirnya sumpah nakes yang membawanya yakin untuk berangkat bertugas.

Baca juga: Minta Presiden Lihat Sendiri Dahsyatnya Kerusakan Imbas Banjir, Bupati Ayahwa: Ini Mahadahsyat

Korban Banjir Bandang Terus Berdatangan 

Korban banjir bandang terus berdatangan ke Puskesmas Koto Alam pada malam kejadian 27 November 2025.

Warga membawa pasien luka dan jenazah yang berhasil dievakuasi dari lokasi terdampak. 

Bidan Fetri menangani seluruh korban sejak sore hingga dini hari.

Lonjakan pasien terjadi cepat. IGD dan ruang rawat tidak lagi menampung korban tambahan. 

Petugas memindahkan pasien ke lantai puskesmas.

Alas tikar dan kain digunakan untuk penanganan darurat. 
Beberapa pasien menunggu tindakan di lorong dan halaman puskesmas.

Kondisi Korban Penuh Lumpur, Luka-luka dan Patah Tulang

Pasca-banjir bandang dahsyat yang melanda Salareh Aie, Palembayan, puluhan pasien terus berdatangan. 

Mereka tidak hanya luka-luka dan patah tulang, mereka bergelimang lumpur tanah, wajah mereka pucat pasi, dan beberapa di antaranya bahkan sudah meregang nyawa.

Semua itu disaksikan langsung oleh bidan Fetri Yuherna (52), yang hari itu sedang bertugas dalam jadwal piket malam.

Fetri berbagi shift dengan Husma (39), seorang perawat yang bertugas sejak pukul 13.30 WIB hingga pukul 20.30 WIB. 

Mereka berdua menjadi garda terdepan saat teror alam itu menyerbu.

Terima Telepon Sebelum Bencana

Sebelum bencana yang merenggut ratusan jiwa itu tiba, sekitar pukul 17.00 WIB, Fetri sempat menerima panggilan telepon dari seorang pasiennya yang tinggal di Jorong Alahan Anggang, dekat Subarang Aie.

"Bu, saya lihat ada gelondongan kayu besar, ada kejadian ya, Bu?" tanya pasien itu, suaranya dipenuhi keraguan.

Fetri, pada Kamis (27/11/2025) sore itu, menepis kekhawatiran tersebut.

Ia menenangkan pasiennya, meyakinkan bahwa kondisi masih aman dan tidak terjadi sesuatu.

Namun, hanya beberapa saat setelah panggilan berakhir, suasana di Puskesmas mulai terasa aneh.

Saat Fetri sedang memperhatikan sejumlah pasien rawat inap, dari kejauhan ia mendengar bunyi gemuruh yang membesar dan mendekat.

Naluri memperingatkannya. Dengan langkah sigap, ia menyongsong ke bagian belakang puskesmas, menuju jendela yang menghadap ke alur sungai.

Benar saja, pemandangan di luar membuat darahnya berdesir sejumlah kayu dan bebatuan berpacu, menggelinding liar terbawa arus sungai yang deras, pekat, dan berwarna cokelat tua.

Berselang empat hingga lima menit dari telepon terakhir itu, kepanikan pecah. Pasien rawat inap mulai berselimut cemas.

Fetri dan rekannya segera menenangkan mereka. Deru air di bagian belakang puskesmas itu seolah menjadi komando bagi ratusan warga untuk bergerak.

Mereka berlarian menuju Puskesmas Koto Alam, memanfaatkan kontur tanah yang lebih tinggi sebagai perlindungan.

Beberapa menyerukan minta tolong, yang lain berteriak sambil berlarian bahwa "air naik, air naik!".

Seketika, Puskesmas Koto Alam berubah fungsi menjadi lokasi paling aman bagi masyarakat untuk bertahan dari ganasnya banjir bandang.

Dilema Antara Anak dan Sumpah Nakes

Melihat masyarakat yang berbondong-bondong berlindung, pikiran Fetri langsung tertancap ke rumah, ke arah Jorong Koto Alam, sekitar dua kilometer jauhnya.

Jiwa keibuannya menjerit. Ia teringat anak-anaknya yang pasti berada di rumah pada sore itu.

Mengabaikan shift dan sumpah profesi sejenak, Fetri segera mengambil kunci motor. Ia mengeluarkan kendaraannya dari halaman puskesmas, memacunya menuju rumah.

Jarak yang cukup jauh itu tidak lagi terasa, karena ketakutan sebagai seorang ibu mengalahkan segalanya.

Namun, baru ratusan meter berkendara, jalannya terhenti total. Banjir bandang telah terjadi, batu, kayu, lumpur tanah, bahkan puing-puing rumah masyarakat sudah bergelimpangan di jalan, membuat akses sesak dan tak mungkin dilewati.

Beruntung, sinyal telepon masih ada. Di tempat pemberhentiannya, ia segera menghubungi putrinya. Kabar yang ia terima bagaikan embun penyejuk di tengah gurun.

"Alhamdulillah kami aman, Ma, rumah tidak terdampak," ujar anaknya dari balik telepon. Fetri menghela napas panjang, beban kekhawatiran yang menindihnya seketika terangkat.

Tersadar bahwa keluarganya selamat, Sumpah Profesi kembali memanggilnya. Fetri tidak ragu.

 Ia sigap memutar kendaraan kembali menuju Puskesmas, siap menjaga pasien rawat inap yang sudah ada dan menunggu datangnya pasien baru para korban galodo (banjir bandang).

Ternyata, Fetri tidak sendiri. Rekannya, Husma, sempat meninggalkan puskesmas untuk memastikan keadaan keluarganya bukti bahwa naluri ibu adalah panggilan yang tidak bisa diabaikan.

Tandu Kain Sarung dan Penanganan Gawat Darurat

Dalam perjalanan kembali ke Puskesmas, Fetri menemukan pemandangan yang menyayat hati. Ia mendengar suara warga yang meminta tolong, diiringi isak tangis.

Ada korban yang kondisinya sudah sangat parah, bergelimang lumpur, tak lagi bertenaga, dipeluk erat oleh keluarganya yang selamat.

Melihat situasi mendesak itu, Fetri segera mencari akal. Matanya menangkap sehelai kain sarung. Kain sarung itu diambil, dan dengan dibantu sebatang kayu, sarung itu dimodifikasi menjadi tandu darurat.

"Pasien itu saya minta tolong masukkan ke dalam sarung untuk ditandu ke puskesmas, yang kebetulan ada mobil bisa membantu melansir pasien," ujarnya mengenang.

Setibanya di Puskesmas, Fetri sudah dinanti oleh pasien pertama yang berhasil dievakuasi. Kondisinya mengerikan, bagian kepala robek selebar telapak tangan, dan sekujur tubuhnya dipenuhi lumpur.

Prosedur harus dipangkas. Pasien pertama itu langsung dibaringkan di ranjang IGD. Tubuhnya dibersihkan dengan cairan Natrium Klorida (NaCl), luka robek dijahit dengan cepat dan teliti, lalu dipasangkan infus untuk mengembalikan kondisi tubuhnya.

berdatangan. Mulai dari kondisi patah kaki, patah-patah di sekujur tubuh, luka-luka robek, hingga korban yang terminum lumpur semuanya ditangani dengan metode gawat darurat.

Fetri dan rekannya berkomitmen untuk memprioritaskan pasien dengan kondisi yang paling parah, berjuang melawan waktu.

Lantai Puskesmas Menjadi Ruang Perawatan

Penderitaan tak hanya datang dari yang terluka. "Selain pasien luka-luka, datang pula mayat-mayat yang berhasil dievakuasi warga," ujar Fetri.

Ia bekerja tanpa henti sejak sore hari hingga pukul 04.00 WIB pagi buta, sebelum akhirnya bisa beristirahat sejenak.

Saat ranjang IGD dan rawat inap sudah tak lagi mampu menampung pasien, lantai puskesmas pun berganti fungsi menjadi tempat penanganan.

Pasien tidur beralaskan tikar, bahkan hanya sehelai kain. Kondisi ini sangat darurat, perawatan dilakukan seadanya dengan penerangan dari genset. Pasien tergeletak, dari dalam hingga bagian luar puskesmas.

Mereka meminta bantuan, meminta diperhatikan. Fetri dan dua rekannya berusaha maksimal, memilah, mengobati, dan menenangkan. Beruntung, semua kebutuhan penanganan dasar tersedia.

"Petugas puskesmas lain, tentu belum bisa ke lokasi. Ada yang berusaha datang tapi jalan ke sini penuh lumpur. Saya bilang doakan saja kami yang ada di sini kuat sampai kalian datang," ujarnya, mengirimkan pesan harapan di tengah keputusasaan.

Sesuai data Puskesmas, total sebanyak 50 pasien ditangani oleh Fetri dan rekannya. Dari jumlah tersebut, 20 di antaranya mengalami luka sedang hingga parah.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.