Bukan Tes Sidik Jari, Dokter Anak Ungkap Cara Tepat Menilai Kesiapan Anak Masuk Sekolah
December 16, 2025 08:07 PM

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Kesiapan anak memasuki jenjang sekolah dasar masih menjadi perhatian banyak orang tua, terutama di tengah maraknya berbagai metode tes yang ditawarkan, salah satunya pemeriksaan sidik jari. 

Menanggapi hal tersebut, Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Tumbuh Kembang dan Pediatri Sosial Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. dr. Hesti Lestari, Sp.A, Subsp. TKPS(K), menegaskan bahwa pemeriksaan sidik jari tidak dapat dijadikan patokan kesiapan anak untuk masuk sekolah.

Hal itu disampaikan Dr. Hesti dalam webinar bertajuk “Kapan dan Usia Berapa Sebaiknya Anak Mulai Sekolah”, yang membahas kesiapan anak dari berbagai aspek, mulai dari fisik, kognitif, hingga emosional dan sosial.

Baca juga: Guru SD di Bogor Dilaporkan Diduga Diskriminasi Nilai Siswa, Kepala Sekolah Akan Lapor Disdik

Menurut Dr. Hesti, meskipun saat ini banyak metode yang ditawarkan kepada orang tua untuk menilai kesiapan anak, sidik jari bukanlah indikator yang relevan secara ilmiah. 

Ia menjelaskan bahwa sidik jari pada dasarnya sudah terbentuk sejak anak masih dalam kandungan dan tidak mengalami perubahan meskipun anak mendapatkan stimulasi atau tidak.

“Kesiapan sekolah itu adalah proses yang berkesinambungan, mengikuti tahapan perkembangan anak. Sidik jari tidak bisa menunjukkan atau mengukur perkembangan tersebut,” ujar dokter Hesti secara virtual, Selasa (16/12/2025).

Ia menambahkan, secara konvensional sidik jari lebih dikenal sebagai alat identifikasi atau bukti hukum, bukan sebagai alat ukur tumbuh kembang anak. 

Bahkan, pemeriksaan sidik jari lazimnya baru memiliki relevansi pada usia dewasa, misalnya untuk keperluan administrasi atau hukum.

“Kalau dikaitkan dengan perkembangan anak, tidak ada teori yang menyatakan sidik jari bisa menunjukkan takaran kesiapan atau perkembangan anak. Jadi, tidak perlu dijadikan patokan,” tegasnya.

Dokter Hesti juga menjelaskan bahwa usia tetap menjadi patokan utama kesiapan anak untuk bersekolah.

Baca juga: SD di Panguragan Cirebon Terendam Banjir, Air Masuk hingga Ruang Kelas, Sekolah Terpaksa Diliburkan

Di Indonesia, sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, usia minimal anak masuk sekolah dasar adalah 6 tahun per 1 Juli. 

Namun, terdapat pengecualian bagi anak dengan kategori cerdas istimewa atau berbakat istimewa (CIBI) yang dapat masuk sekolah pada usia minimal 5 tahun 6 bulan, dengan syarat tertentu.

“Untuk anak yang belum berusia 6 tahun tapi ingin masuk sekolah karena dianggap cerdas atau siap, itu tidak bisa hanya berdasarkan klaim orang tua. Harus ada surat keterangan tertulis dari pemeriksaan profesional,” ujarnya.

Surat tersebut dapat diperoleh melalui pemeriksaan oleh tenaga profesional, seperti dokter anak atau psikolog klinis, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 

Namun, ia juga menekankan bahwa pemeriksaan psikologis tidak dilakukan secara rutin pada semua anak.

“Kalau anak sudah berusia 6 tahun atau bahkan 7 tahun, sebenarnya tidak memerlukan surat apa pun. Pemeriksaan tambahan baru diperlukan jika anak belum cukup usia, tapi orang tua ingin memasukkannya ke sekolah,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan orang tua agar tidak hanya terpaku pada usia, melainkan memperhatikan kesiapan anak secara menyeluruh. 

Salah satu cara sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan daftar periksa checklist kemampuan anak, seperti kemampuan berkomunikasi, mengelola emosi, mengikuti instruksi, hingga berinteraksi sosial.

“Kalau dari checklist itu terlihat banyak yang belum siap, barulah orang tua bisa berkoordinasi dengan dokter anak atau psikolog klinis,” kata dia.

Melalui pemahaman yang tepat, ia berharap orang tua dapat lebih bijak dalam mempersiapkan anak memasuki dunia sekolah, tanpa terburu-buru atau bergantung pada metode yang belum terbukti secara ilmiah.

Selain kesiapan psikologis dan perkembangan, dokter Hesti juga menyoroti pentingnya kesiapan fisik dan kesehatan anak sebelum memasuki lingkungan sekolah. 

Ia mengingatkan bahwa sekolah merupakan tempat yang rentan terhadap penyebaran berbagai penyakit infeksi.

“Sering kita temui anak yang baru masuk sekolah kemudian mulai sering batuk, pilek, atau sakit. Itu karena paparan lingkungan baru dan interaksi dengan banyak anak,” ujarnya.

Oleh karena itu, kondisi fisik anak harus benar-benar diperhatikan, terutama daya tahan tubuh. 

Salah satu upaya penting adalah memastikan imunisasi anak lengkap hingga booster.

“Imunisasi dasar biasanya sudah dilakukan, tetapi orang tua sering lupa bahwa setelah usia satu tahun, apalagi di usia 4–5 tahun, ada imunisasi ulangan atau booster yang sangat penting untuk meningkatkan imunitas,” jelasnya.

Selain imunisasi, daya tahan tubuh anak juga sangat dipengaruhi oleh status gizi dan nutrisi. 

Anak dengan nutrisi yang baik cenderung memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih optimal. Di samping itu, penerapan perilaku hidup bersih dan sehat, termasuk higiene dan sanitasi juga berperan penting dalam mencegah penyakit.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.