Oleh: Mansur Afifi
*Guru Besar Ekonomi Universitas Mataram
Pemerintah daerah provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) telah meluncurkan sebuah program yang progresif, komprehensif, terstruktur, dan masif yang diberi nama Program Desa Berdaya pada Selasa (16/12) kemarin. Program ini dimaksudkan sebagai upaya memberdayakan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan.
Secara eksplisit disebutkan bahwa target dari program ini adalah menurunkan tingkat kemiskinan ekstrem hingga nol persen pada tahun 2029.
Data statistik menunjukkan bahwa provinsi NTB masih menghadapi persoalan struktural kemiskinan perdesaan, dengan keberadaan 106 desa kantong kemiskinan ekstrem dan 336 desa kantong kemiskinan absolut.
Biro Pusat Statistik melaporkan bahwa tingkat kemiskinan terbaru per Maret 2025 adalah 11,78 persen, atau sekitar 654,57 ribu jiwa. Sementara itu, data kemiskinan ekstrem yang tersedia per Maret 2024 menunjukkan angka 2,04 persen.
Kondisi kemiskinan masyarakat bersifat multidimensi yang dicirikan oleh keterbatasan pemilikan aset produktif, akses layanan dasar yang minimal, kerentanan sosial, dan lemahnya kapasitas ekonomi rumah tangga.
Program Desa Berdaya kemudian dirancang untuk menjawab tantangan tersebut melalui pendekatan place-based development, dengan fokus pada desa sebagai unit transformasi ekonomi dan sosial.
Program ini tidak hanya menargetkan penurunan angka kemiskinan, tetapi juga mendorong kemandirian ekonomi, ketahanan sosial, dan peningkatan kesejahteraan berkelanjutan.
Baca juga: Desa Berdaya, Cara Gubernur Iqbal Hapus Kemiskinan Ekstrem dengan Pendampingan Intensif
Pengentasan kemiskinan sering terjebak pada logika jangka pendek: bantuan disalurkan, angka kemiskinan menurun sesaat, lalu perlahan naik kembali. Pola ini berulang di banyak daerah.
Di tengah kenyataan tersebut, Program Desa Berdaya yang dirancang Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menarik perhatian karena mencoba keluar dari pendekatan konvensional.
Program ini tidak semata bertanya berapa bantuan yang diberikan, tetapi bagaimana rumah tangga miskin benar-benar keluar dari kemiskinan secara berkelanjutan.
Desa Berdaya menempatkan desa bukan sebagai objek pasif pembangunan, melainkan sebagai ruang transformasi ekonomi dan sosial. Sasaran program difokuskan pada desa-desa kantong kemiskinan ekstrem dan kemiskinan absolut—sebuah langkah penting agar kebijakan tidak terjebak pada pemerataan semu, tetapi tepat sasaran.
Dalam konteks NTB, di mana kemiskinan perdesaan bersifat struktural dan multidimensi, pendekatan seperti ini memang dibutuhkan.
Hal paling progresif dari Desa Berdaya adalah adopsinya terhadap pendekatan Graduasi (Graduation Approach). Pendekatan ini telah digunakan di berbagai negara berkembang dan terbukti mampu mengeluarkan rumah tangga miskin dari perangkap kemiskinan dalam jangka menengah.
Intinya sederhana namun sering diabaikan: orang miskin tidak cukup diberi bantuan, tetapi perlu dorongan awal yang kuat, pendampingan intensif, serta waktu yang memadai untuk membangun mata pencaharian yang stabil.
Graduasi bekerja secara berurutan. Rumah tangga miskin terlebih dahulu dipastikan mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, kemudian diberi aset atau modal produktif sebagai big push, disertai pendampingan yang membantu mereka membangun keterampilan, kepercayaan diri, dan jejaring ekonomi.
Pendekatan ini sejalan dengan pandangan ekonom peraih Nobel, Amartya Sen, bahwa pembangunan sejati bukan sekadar peningkatan pendapatan, melainkan perluasan kemampuan manusia untuk menentukan masa depannya sendiri.
Kekuatan lain Desa Berdaya adalah upayanya mengintegrasikan berbagai sektor: ekonomi lokal, kesehatan, pendidikan, lingkungan, hingga penguatan kelembagaan desa. Kemiskinan jarang berdiri sendiri.
Ia tumbuh dari kombinasi keterbatasan aset, akses layanan dasar, kerentanan sosial, dan minimnya kesempatan kerja. Pendekatan terpadu semacam ini memberi peluang lebih besar untuk menghasilkan perubahan yang bertahan lama.
Program Desa Berdaya dengan desainnya yang luas dan ambisius memunculkan tantangan yang besar pada tahap implementasi. Dengan puluhan agenda prioritas dan berbagai klaster desa tematik, risiko paling nyata adalah kehilangan fokus.
Tanpa prioritas yang jelas, program berpotensi berubah menjadi kumpulan kegiatan sektoral yang berjalan sendiri-sendiri, tanpa dampak transformatif yang nyata bagi rumah tangga miskin.
Kunci keberhasilan Desa Berdaya terletak pada pendampingan. Dalam pendekatan Graduasi, pendamping bukan sekadar pelaksana administratif, melainkan figur penting yang menemani keluarga miskin mengambil keputusan ekonomi yang menentukan hidup mereka.
Jika pendamping tidak dibekali kapasitas, pelatihan, dan insentif yang memadai, maka transfer aset berisiko tidak menghasilkan perubahan berarti.
Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah keberlanjutan pasca program. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa rumah tangga yang telah “lulus” dari kemiskinan tetap rentan jatuh kembali jika tidak terhubung dengan pasar, kelembagaan ekonomi lokal, dan akses pembiayaan yang berkelanjutan.
Karena itu, keterkaitan Desa Berdaya dengan BUMDes, koperasi, dan ekosistem usaha lokal harus diposisikan sebagai bagian inti dari strategi, bukan sekadar pelengkap.
Selain itu, untuk menjamin keberlanjutan pasca program maka pengembangan sumber daya non material perlu diupayakan. Kemiskinan bukan semata disebabkan oleh kelangkaan atau tidak ter alokasikannya sumber daya material secara merata tetapi lebih disebabkan oleh kelangkaan sumber daya non material.
Sumber daya non material terdiri dari pengetahuan, keterampilan, reputasi, jaringan sosial, dan sumber daya spiritual. Sumber daya spiritual meliputi rasa haus akan ilmu pengetahuan, visi terhadap kesempatan, etika kerja, kepekaan terhadap disiplin, solidaritas kekeluargaan, solidaritas dalam komunitas, dan iktikad baik.
Bentuk yang paling sederhana dari hasil pengembangan sumber daya non material adalah munculnya pemahaman bersama dan kesepakatan bersama sehingga muncul rasa memiliki di antara pemangku kepentingan.
Karena itu, pada tahap implementasi program Desa Berdaya program pengembangan sumber daya non material harus pula diprioritaskan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat sehingga efektivitas, efisiensi, dan keberlanjutan kegiatan tersebut dapat diwujudkan.
Pada akhirnya, Desa Berdaya adalah taruhan kebijakan yang patut diapresiasi. Program ini menunjukkan keberanian pemerintah daerah untuk tidak sekadar mengejar penurunan angka kemiskinan, tetapi membangun fondasi kemandirian ekonomi masyarakat desa.
Jika dijalankan dengan fokus, disiplin, dan komitmen jangka menengah, Desa Berdaya berpotensi menjadi contoh bahwa pembangunan desa di Indonesia dapat bergerak dari pendekatan karitatif menuju transformasi yang lebih bermartabat dan berkelanjutan.