Oleh: Prof Dr Murpin Josua Sembiring SE MSi,
Gurubesar Universitas Ciputra Surabaya,
Ketua Persatuan Profesor/Gurubesar Indonesia Jawa Timur (DPD PERGUBI Jatim).
SURYA.co.id - Setiap kali banjir bandang melanda berbagai wilayah di Indonesia, pola yang sama selalu terulang.
Air datang tiba-tiba, rumah-rumah hanyut, mata pencaharian hilang, dan korban jiwa kembali berjatuhan.
Baca juga: Pengamat Ekonomi UC Surabaya Prof Murpin: Banyak Koperasi Gagal karena Mindset Bantuan
Tak lama kemudian, perhatian publik menguat: pejabat berkunjung, politisi menyampaikan pernyataan, bantuan disalurkan, dan kamera media bekerja tanpa henti.
Negara tampak hadir namun selalu setelah bencana terjadi.
Ironinya, kehadiran yang begitu ramai itu justru menyingkap satu kenyataan pahit: negara sering kali absen jauh sebelum bencana datang.
Banjir bandang bukan peristiwa yang lahir mendadak.
Ia adalah akumulasi dari keputusan-keputusan kebijakan yang diambil atau justru dihindari bahkan disalahgunakan untuk kepentingan keuntungan para investor dan pejabat terkait dalam waktu panjang.
Dalam praktik kebijakan publik kita, penanganan pascabencana sering kali mendapat porsi jauh lebih besar dibanding pencegahan.
Anggaran darurat mudah disetujui, kehadiran pejabat mendapat sorotan kamera, dan empati publik mengalir deras.
Sebaliknya, investasi pada mitigasi rehabilitasi hutan, penataan ruang, penguatan sistem peringatan dini berjalan lambat, abai dan minim perhatian apalagi di balik semua itu didapat 'kenikmatan'.
Paradoks ini tidak sepenuhnya lahir dari ketidaktahuan, melainkan dari logika politik yang mengutamakan visibilitas.
Pencegahan bersifat sunyi miskin popularitas aplagi elektabilitas.
Ia tidak dramatis, tidak viral, dan hasilnya baru terasa ketika bencana tidak terjadi maka itulah sebuah 'keberhasilan' yang justru sulit dibuktikan secara kasat mata dan miskin popularitas.
Akibatnya, orientasi kebijakan cenderung reaktif.
Negara (baca pejabat dan politisinya) terlihat sibuk mengelola dampak, tetapi kurang serius mengelola/mengawasi sejak dini potensi dampak dan risikonya.
Di sinilah esensi kepemimpinan publik sesungguhnya diuji.
Kepemimpinan tidak hanya diukur dari kecepatan merespons setelah terjadi krisis kebencanaan, tetapi dari keberanian mengambil keputusan tidak populer jauh sebelum krisis itu datang.
Menertibkan izin usaha di kawasan rawan bencana, menghentikan eksploitasi lingkungan yang melanggar tata ruang, atau mencabut izin yang merusak daerah resapan air sering kali menimbulkan resistensi ekonomi dan politik tapi menyelamatkan manusia dan ekosistem di lingkungannya.
Kerja-kerja sunyi focus pada pencegahan sebelum terjadi kebencaan semacam ini jarang mendapat tepuk tangan tidak disorot kamera media.
Bahkan, tidak jarang justru menurunkan popularitas pengambil kebijakan dan investor nakal jadi musuh.
Namun, di situlah letak kepemimpinan sejati: memilih keselamatan publik dan keberlanjutan jangka panjang dibanding kenyamanan politik dan ekonomi jangka pendek.
Sayangnya, kepemimpinan sunyi seperti ini belum menjadi arus utama dalam praktik pemerintahan dan politisi kita saat ini.
Banjir bandang seharusnya dibaca bukan sekadar sebagai bencana alam, melainkan sebagai cermin kualitas tata kelola Pembangunan dan lingkungannya.
Ketika rencana tata ruang mudah dikompromikan, analisis dampak lingkungan menjadi formalitas administratif, dan pengawasan lemah/ dilemahkan, maka bencana bukan lagi kemungkinan, melainkan keniscayaan justru menjadi aneh/mujizat jika tidak terjadi kebencanaan.
Namun, refleksi struktural semacam ini kerap tenggelam di tengah narasi darurat.
Fokus publik cepat bergeser pada bantuan dan pemulihan jangka pendek, sementara pertanyaan mendasar mengapa bencana ini terus berulang jarang dijawab secara serius.
Tanpa evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan dan praktik pembangunan, tragedi serupa hampir pasti akan kembali terjadi banyak pihak di kamera tampil jadi pahlawan sambil berkunjung, berdialog, memberi bantuan bahkan manggul sembako di depan kamera.
Standar global sudah ada; problem kita adalah konsistensi tata Kelola, kerangka global seperti Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030 sudah menegaskan empat prioritas: memahami risiko, memperkuat tata kelola risiko, investasi pengurangan risiko untuk ketahanan, serta kesiapsiagaan dan Build Back Better.
Artinya, pencegahan bukan wacana idealis, tetapi standar kebijakan internasional banjir bandang di Indonesia tidak layak lagi disebut sebagai bencana alam murni, melainkan akibat kegagalan tata kelola hulu–hilir, tata ruang, dan pengawasan lintas sektor wajib bertanggung jawab yang melibatkan berbagai stake holder.
Stake holder itu antara lain Kementerian Kehutanan dalam menjaga dan merehabilitasi hutan hulu, Kementerian Lingkungan Hidup dalam pengendalian alih fungsi lahan dan penegakan hukum lingkungan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dalam penataan ruang dan perizinan wilayah rawan banjir, Kementerian Pekerjaan Umum dalam penyediaan serta pemeliharaan infrastruktur pengendali banjir.
Kemudian, BNPB dalam pengurangan risiko dan koordinasi mitigasi bencana, BMKG akurasi peringatan dini cuaca ekstrem, serta pemerintah daerah sebagai pelaksana utama pengawasan, penegakan aturan, dan pengendalian pembangunan di lapangan.
Media memiliki peran strategis dalam membentuk orientasi kebijakan.
Ketika liputan lebih banyak menyoroti dramatisasi/ pencitraan bencana dibanding upaya pencegahan, pesan yang diterima pengambil kebijakan menjadi bias.
Yang dianggap 'kerja nyata' adalah kehadiran saat krisis, bukan konsistensi dalam proses pencegahan jauh sebelum bencana dan mitigasi.
Pacsa bencana besar November 2025 saatnya rekan-rekan media dan publik memberi ruang lebih besar pada isu pencegahan potensi kebencanaan di seluruh wilayah Indonesia: audit kepatuhan tata ruang, transparansi perizinan kawasan rawan, indikator kinerja kepala daerah berbasis penurunan risiko, serta pembiayaan mitigasi yang memadai.
Laporan investigasi dan keluhan masyarakat dikawasan perambahan hutan dan semuanya diliput kamera dan diviralkan di sinilah peran strategis teman-teman media untuk kebencanaan di Indonesia.
Keberhasilan tidak semestinya diukur dari seberapa cepat pejabat datang ke lokasi bencana, melainkan dari seberapa kecil risiko kebencaaan yang dirancang jika harus terjadi bencana.
Pencegahan lebih mudah dan murah dan harus diperlakukan sebagai investasi strategis, bukan beban anggaran.
Kerja-kerja pencegahan memang tidak menawarkan kepuasan instan apalagi popularitas.
Namun, ia menyelamatkan nyawa, melindungi lingkungan, dan menjaga masa depan generasi berikutnya.
Negara yang matang adalah negara yang belajar dari bencana untuk memastikan bencana serupa tidak terulang diseluruh tumpah darah Indonesia.
Desain regulasi, kepastian peran, disiplin teknis, dan pembiayaan jangka panjang menjadi urgen bagi Indonesia.
Bencana tidak lahir tiba-tiba.
Ia adalah akumulasi dari kelalaian panjang: pembiaran alih fungsi lahan, lemahnya pengawasan tata ruang, rusaknya hutan, dan minimnya investasi serius pada sistem mitigasi.
Jadi jangan juga menjalahkan curah hujan dan alam ciptaan Tuhan.
Fokus publik harusnya bergeser pada bantuan dan pemulihan jangka pendek, tetapi kepada mengapa bencana itu terjadi dan Pemerintah harus jawab transfaran dan tuntas sebagai bahan evaluasi yang fundamental tanpa evaluasi struktural, tragedi serupa hampir pasti akan terulang lagi.
Banjir bandang bukan peristiwa yang lahir dalam ruang hampa.
Ia adalah hasil dari proses panjang: kompromi tata ruang, lemahnya pengawasan lingkungan, degradasi daerah aliran sungai, dan keberanian negara yang sering goyah ketika berhadapan dengan kepentingan ekonomi-politik.
Banjir bandang akan terus menjadi ujian.
Pertanyaannya, apakah kita akan terus membiarkan negara hadir terlambat atau mulai serius membangun kepemimpinan sunyi tanpa popularitas, tanpa wawancara dan kamera dan terus bekerja sebelum air bah kembali melanda rakyat Indonesia.