TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kanker kini menjadi penyakit yang menjadi ancaman karena membawa konsekuensi kematian pada penderitanya.
Kebutuhan akan inovasi di Asia semakin mendesak.
Dengan jumlah penduduk lebih dari 4,8 miliar jiwa atau sekitar 60 persen populasi dunia, Asia menanggung beban kanker yang sangat besar, mencakup hampir setengah dari kasus baru secara global dan sekitar 60 persen kematian akibat kanker.
Beban tersebut diperkirakan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk, bertambahnya populasi lanjut usia, laju industrialisasi, paparan karsinogen, serta berbagai faktor risiko terkait gaya hidup.
“Kami berkomitmen memperkuat upaya peningkatan perawatan kanker di Asia melalui inovasi dalam deteksi dini, diagnostik presisi, dan pengobatan berbasis pedoman klinis. Kami terus berkolaborasi dengan para mitra untuk menghadirkan hasil perawatan yang lebih baik bagi pasien di seluruh kawasan," kata Sylvia Varela, Area Vice President, Asia, AstraZeneca dikutip Selasa, 16 Desember 2025.
Pada ESMO Asia 2025, AstraZeneca membeber perkembangan menuju pendekatan pengobatan yang lebih personal, lebih dini, dan lebih efektif, dengan fokus pada kanker paru, gastrointestinal, dan payudara, tiga jenis kanker yang paling banyak terjadi di Asia.
Mereka menekankan tiga area prioritas yang menjadi kunci transformasi perawatan kanker di Asia, yaitu: Memperkuat Akses Pemeriksaan dan Terapi untuk Kanker Paru EGFRm NSCLC Kanker paru masih menjadi beban kesehatan yang signifikan di Asia, dengan mutasi EGFR pada pasien NSCLC ditemukan lebih sering dibandingkan dengan populasi di negara-negara Barat.
Kondisi ini menegaskan pentingnya proses diagnostik yang lebih terstruktur sejak kunjungan pertama, sehingga penentuan terapi yang tepat dapat dilakukan sedini mungkin.
AstraZeneca memaparkan data dari beberapa studi yang menggambarkan peran EGFR TKI di seluruh tahap perawatan pasien EGFRm NSCLC.
Pada tahap neoadjuvan, penggunaan EGFR TKI—baik sebagai monoterapi maupun dikombinasikan dengan kemoterapi—terbukti meningkatkan respons patologis sambil tetap menjaga kualitas hidup pasien.
Untuk pasien dengan penyakit stadium III yang tidak dapat dioperasi, penggunaan EGFR-TKI dalam rangkaian peri-kemoradiasi menunjukkan tingkat respons yang tinggi dengan profil keamanan yang dapat ditoleransi.
Sementara itu, pada pasien yang mengalami progresi akibat amplifikasi atau overekspresi MET, yang lebih sering ditemukan pada populasi Asia, penambahan inhibitor MET pada EGFR-TKI ternyata memberikan respons yang signifikan serta lebih tahan lama.
Temuan ini menegaskan pentingnya pemeriksaan komprehensif EGFR dan MET sebagai dasarpengambilan keputusan terapeutik di setiap tahapan penyakit.
Mendorong Penggunaan Imunoterapi dan Terapi Target Kanker gastrointestinal menjadi salah satu penyumbang beban kanker global yang besar, dengan lebih dari separuh kasus ditemukan di Asia.
Studi yang dilakukan oleh AstraZeneca Indonesia menunjukkan bahwa pemberian imunoterapi sejak tahap awal dan secara berkesinambungan dapat meningkatkan peluang kelangsungan hidup pada kelompok pasien tertentu.
Pada kanker lambung dan kanker gastroesophageal junction stadium awal hingga stadium lanjut lokal, kombinasi imunoterapi dan kemoterapi terbukti memberikan peningkatan signifikan pada kelangsungan hidup secara keseluruhan (overall survival) dan waktu kejadian kekambuhan (event-free survival).
Peningkatan hasil ini juga terlihat pada pasien Asia yang umumnya memiliki kondisi penyakit lebih kompleks.
Sementara itu, pada kanker hati stadium lanjut—terutama di negara-negara dengan prevalensi hepatitis B yang tinggi—regimen kombinasi imunoterapi menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup yang bertahan hingga lima tahun.
Temuan ini menjadikannya pilihan terapi yang menjanjikan bagi kelompok pasien tersebut.
Temuan-temuan ini menegaskan pentingnya peningkatan kemampuan diagnostik dan alur rujukan antardisiplin, agar lebih banyak pasien dapat memperoleh akses dan merasakan manfaat dari terapi inovatif yang paling tepat bagi kondisi mereka.
Meningkatkan Peran Antibody Drug Conjugates dalam Penanganan Kanker Payudara Kanker payudara merupakan kanker yang paling banyak didiagnosis pada perempuan dan menjadi salah satu penyebab utama kematian terkait kanker di seluruh dunia.
Di banyak negara Asia, kanker sering terdiagnosis pada usia 40–50 tahun, lebih muda dibandingkan negara Barat yang umumnya pada usia 60–70 tahun.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa profil penyakit di Asia cenderung lebih kompleks.
Selain itu, temuan studi yang presentasikan pada ESMO Asia 2025 semakin memperkuat bukti terkait dalam penanganan kanker payudara.
Pada pasien kanker payudara metastatik triple-negative yang tidak memenuhi syarat untuk imunoterapi, penggunaan terapi ADC meningkatkan harapan hidup dan mengendalikan perkembangan penyakit dengan efek samping yang dapat ditoleransi.
Pada penyakit metastatik HER2-positif, kombinasi ADC dengan terapi target antibodi monoklonal menunjukkan manfaat besar dalam memperlambat progresi penyakit, termasuk pada populasi pasien Asia.
Sementara itu, pada kanker payudara HER2-positif stadium awal berisiko tinggi, penggunaan ADC praoperatif sebelum rejimen standar kombinasi terapi target dan kemoterapi meningkatkan proporsi pasien yang mencapai pathologic complete response, sekaligus tetap mempertahankan kelayakan untuk menjalani tindakan pembedahan.
Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa ADC berpotensi memberikan manfaat lebih besar jika digunakan pada tahap yang lebih awal dalam perawatan kanker payudara.
Baca juga: Dokter Ungkap Bahaya Mikroplastik, Bisa Picu Batuk Kronis hingga Kanker Paru
“Di Indonesia dan kawasan sekitarnya, kami bekerja sama dengan para tenaga kesehatan, pembuat kebijakan, dan komunitas pasien untuk menerjemahkan bukti klinis menjadi akses yang lebih merata, sehingga lebih banyak pasien dapat menerima terapi yang tepat pada waktu yang tepat," kata Esra Eskomay, Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia.