TRIBUNTRENDS.COM - Presiden Prabowo Subianto secara terbuka mengungkapkan kegelisahannya terhadap kinerja belanja negara.
Di tengah upaya pemerintah menerapkan efisiensi anggaran, Kepala Negara mengaku masih menerima laporan adanya kementerian dan lembaga yang bergerak lambat dalam merealisasikan anggaran.
Padahal, pada tahun ini pemerintah telah menerapkan kebijakan efisiensi belanja melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025, yang bertujuan memastikan setiap rupiah anggaran negara benar-benar memberi dampak nyata bagi perekonomian dan pembangunan.
Baca juga: Tak Mau Dibandingkan dengan Resbob! Yudo Anak Purbaya Lawan Stigma Anak Pejabat Arogan: Aku Berbeda
Laporan Menkeu Jadi Alarm Serius
Dalam Sidang Kabinet Paripurna, Presiden Prabowo menyampaikan laporan langsung yang ia terima dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Laporan tersebut menegaskan bahwa masih terdapat sisa anggaran dalam jumlah besar yang berpotensi dihemat, namun tidak dimanfaatkan secara optimal.
“Saya dapat laporan dari Menkeu, sisa anggaran yang bisa kita hemat cukup besar dan di sana sini masih ada (Kementerian/Lembaga) yang kurang cepat bergerak,” kata Presiden Prabowo dalam Sidang Kabinet Paripurna, dikutip TribunTrends, Rabu, (17/12/2025).
Pernyataan ini menjadi sinyal tegas bahwa pemerintah tidak ingin anggaran negara hanya menjadi angka di atas kertas, tanpa realisasi yang berdampak langsung ke masyarakat.
Uang Negara Jangan Mengendap di Bank
Dalam berbagai kesempatan sebelumnya, Purbaya Yudhi Sadewa memang kerap mengingatkan kementerian dan lembaga agar segera membelanjakan anggaran sesuai pagu yang telah dirancang sepanjang tahun.
Menurutnya, anggaran yang tidak terserap dengan baik hanya akan membuat uang negara mengendap di perbankan, tanpa memberikan manfaat ekonomi apa pun.
Kondisi ini menjadi semakin krusial mengingat struktur APBN Indonesia masih berada dalam posisi defisit.
Baca juga: Diskon dan Subsidi Nataru Bukan Pura-pura, Purbaya: Uangnya Sudah Dihitung, Masyarakat Akan Nikmati
APBN Defisit, Utang Jadi Penopang
Purbaya menjelaskan bahwa selama ini belanja pembangunan sebagian besar masih ditutup dengan utang, karena pendapatan negara belum sepenuhnya mampu menutupi kebutuhan belanja.
Ia menegaskan bahwa biaya utang bukanlah hal murah. Ketika pemerintah memutuskan berutang, konsekuensinya adalah pembayaran bunga yang nilainya tidak kecil.
“Kalau saya sudah utang terus enggak dipakai, saya dosa, saya utang untuk uang yang enggak dipakai.
Bayar bunganya juga bisa mahal tuh utang. Lebih jelek lagi, dorongan keekonomian menjadi tidak maksimal,” tegas Purbaya.
Dana Menganggur Bisa Jadi Beban Negara
Pada Oktober 2025, Purbaya bahkan mengungkapkan perhitungan konkret terkait dampak dana pemerintah yang tidak terserap.
Ia menyebut bahwa beban bunga dana pemerintah pusat maupun daerah yang hanya mengendap bisa mencapai 6 persen.
Menurut perhitungannya, jika dana menganggur mencapai Rp100 triliun, maka bunga yang harus dibayar pemerintah mencapai Rp6 triliun.
“Saya bayar sekarang 6 persen. Setiap Rp100 triliun nganggur, saya bayar berapa? Bayar 6 triliun kan? Rugi saya,” ujarnya.
Kerugian tersebut akan semakin besar jika dana yang tidak terpakai mencapai ratusan triliun rupiah.
“Kalau nganggur Rp400 triliun, Rp24 triliun. Saya bayar bunga untuk uang yang enggak dipakai,” lanjutnya.
Sindiran Menohok Menkeu
Dengan nada satir, Purbaya menggambarkan betapa tidak masuk akalnya membayar bunga besar untuk uang negara yang tidak digunakan.
“Mendingan kita beliin kerupuk tuh Rp6 triliun, dapet berapa tuh?” tuturnya di kantor Kementerian Keuangan.
Pernyataan tersebut menjadi penegasan keras bahwa lambannya belanja anggaran bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan berpotensi merugikan negara dan menghambat dorongan ekonomi nasional.
***
(TribunTrends/Jonisetiawan)