TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan yang mengatur formula kenaikan upah minimum, mulai dari upah minimum provinsi (UMP) hingga upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK).
Dalam regulasi baru ini, pemerintah menetapkan rumus kenaikan upah minimum berbasis inflasi dan pertumbuhan ekonomi dengan koefisien tertentu.
Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, mengatakan keputusan Presiden diambil setelah mempertimbangkan aspirasi berbagai pihak, terutama serikat buruh, yang selama ini menyuarakan perlunya kepastian formula pengupahan.
“Akhirnya Bapak Presiden memutuskan formula kenaikan upah sebesar inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi dikalikan alfa. Rentang alfa ditetapkan antara 0,5 sampai dengan 0,9. Ini merupakan hasil dari pertimbangan yang cukup panjang, termasuk mendengar masukan dari serikat pekerja dan pelaku usaha,” kata Yassierli dalam keterangan resmi, Selasa (16/12/2025) malam.
Yassierli menjelaskan, alfa merupakan indeks tertentu yang merepresentasikan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Dengan adanya variabel tersebut, besaran kenaikan upah minimum dipastikan berbeda antarwilayah.
Menurut Yassierli, perhitungan kenaikan upah minimum sepenuhnya menjadi kewenangan Dewan Pengupahan Daerah.
Hasil perhitungan tersebut kemudian disampaikan kepada gubernur sebagai rekomendasi untuk ditetapkan dan diumumkan kepada publik.
“Perhitungan kenaikan upah minimum akan dilakukan oleh Dewan Pengupahan Daerah. Setelah itu, hasilnya diserahkan kepada gubernur untuk ditetapkan sebagai UMP, dan dalam kewenangannya gubernur juga dapat menetapkan UMK serta upah minimum sektoral,” ujar Yassierli.
Dalam PP Pengupahan itu ditegaskan, gubernur wajib menetapkan besaran UMP dan wajib menetapkan upah minimum sektoral provinsi (UMSP).
Sementara itu, penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) bersifat opsional sesuai kondisi daerah.
Khusus untuk penetapan upah tahun 2026, pemerintah memberi tenggat waktu yang ketat.
“Untuk tahun 2026, gubernur wajib menetapkan besaran kenaikan upah selambat-lambatnya pada tanggal 24 Desember 2025. Ini untuk memberikan kepastian bagi pekerja dan dunia usaha,” kata Yassierli.
Baca juga: Ini Formula Kenaikan Upah Pekerja di Tahun 2026, Gubernur Wajib Tetapkan UMP Maksimal 24 Desember
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, keputusan pemerintah tersebut menuai kritik dari kalangan buruh.
Koordinator Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY, Irsad Ade Irawan, menilai penggunaan kembali formula inflasi dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan negara belum menempatkan upah sebagai hak dasar pekerja untuk hidup layak.
“Keputusan pemerintah yang kembali menggunakan formula inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi dikalikan alfa 0,5 sampai 0,9 menunjukkan bahwa negara masih memandang upah buruh semata-mata sebagai variabel ekonomi. Padahal upah adalah hak dasar buruh untuk hidup layak, bukan sekadar instrumen stabilitas ekonomi,” ujar Irsad, Selasa (16/12/2025).
MPBI DIY, kata dia, sejak awal telah menyampaikan keberatan terhadap formula pengupahan tersebut, baik melalui aksi massa maupun pernyataan sikap resmi.
Menurut mereka, kenaikan upah berbasis inflasi dan pertumbuhan ekonomi tidak pernah benar-benar mampu mengejar kebutuhan hidup layak (KHL) buruh.
“Fakta di lapangan menunjukkan, kenaikan upah dengan formula ini selalu tertinggal dari realitas biaya hidup. Di DIY, yang dikenal dengan upah murah dan angka kemiskinan yang masih cukup tinggi, formula ini justru memperpanjang ketimpangan. Buruh terus dipaksa bertahan dengan upah yang tidak mencukupi kebutuhan dasar,” kata Irsad.
MPBI DIY juga menyoroti penentuan rentang alfa 0,5–0,9 yang dinilai problematis karena dilakukan di tengah belum rampungnya revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan.
“Penentuan nilai alfa ini membuka ruang politis yang sangat besar, tetapi tanpa jaminan keberpihakan kepada buruh. Pemerintah sudah mengeluarkan PP, sementara pembaruan UU Ketenagakerjaan sendiri belum selesai. Akibatnya, kenaikan upah berpotensi hanya bersifat simbolis dan tidak signifikan,” ujarnya.
Selain itu, MPBI DIY mengkritik peran Dewan Pengupahan Daerah yang dinilai belum sepenuhnya demokratis dan independen.
Menurut Irsad, keterlibatan buruh dalam dewan tersebut kerap bersifat formalitas karena ruang penentuan kebijakan sudah dibatasi oleh formula yang ditetapkan pemerintah pusat.
“Dewan Pengupahan Daerah hanya diminta menghitung berdasarkan formula yang sudah ditentukan sepihak. Kepentingan buruh sering kali dikalahkan oleh narasi investasi dan stabilitas usaha. Ini bukan soal teknis penghitungan, tetapi soal keberpihakan,” kata dia.
MPBI DIY mengingatkan agar kewajiban gubernur menetapkan UMP, UMK, UMSP, dan UMSK sebelum 24 Desember 2025 tidak berhenti sebagai rutinitas administratif.
“Gubernur DIY harus berani menggunakan kewenangannya untuk berpihak pada buruh, bukan sekadar menjadi perpanjangan tangan kebijakan pusat yang menekan upah,” ujar Irsad.
Dalam pernyataan sikapnya, MPBI DIY menegaskan tiga hal utama: