Anggota DPR Desak Negara Buka Tabir Kebenaran Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu 
December 17, 2025 01:38 PM

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Mafirion, berharap peluncuran peta jalan menuju penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu menjadi langkah nyata negara untuk membuka tabir kebenaran atas pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum sepenuhnya terungkap dan dituntaskan.

Mafirion menegaskan, peta jalan tersebut harus benar-benar menjadi instrumen untuk mengungkap kebenaran sekaligus menghadirkan keadilan bagi korban dan penyintas.

"Negara tidak boleh lagi menunda pengungkapan pelanggaran HAM berat masa lalu. Tabir kebenaran harus dibuka,” kata Mafirion kepada wartawan, Rabu (17/12/2025).

Menurut dia, kehadiran peta jalan merupakan sinyal bahwa negara berupaya memastikan jaminan hak asasi setiap warga negara, sekaligus menunjukkan komitmen pemerintah dalam menunaikan kewajiban konstitusional dan moral terhadap korban serta penyintas pelanggaran HAM berat.

Mafirion menilai, peta jalan ini juga mencerminkan komitmen Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

“Secara nasional, hal ini sejalan dengan UUD 1945 yang menjamin hak-hak dasar warga negara dan mewajibkan negara untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati HAM,” ujarnya.

Baca juga: Kementerian HAM Perkuat Penyelesaian Sengketa Humanis Melalui Mediasi Non-litigasi

Saat ini tercatat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang masuk dalam peta jalan tersebut, antara lain peristiwa 1965–1966, Talangsari 1989, penembakan misterius 1982–1985, kerusuhan Mei 1998 termasuk Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, penghilangan paksa 1997–1998, Simpang KKA Aceh 1999, peristiwa santet Banyuwangi 1998, Wasior 2001, Jambu Keupok Aceh 2003, Rumah Geudong Aceh 2001–2002, serta Wamena 2003.

Mafirion menegaskan, pengakuan negara atas 12 kasus tersebut tidak boleh berhenti pada tataran simbolik. Menurut dia, pengakuan harus dibarengi dengan langkah penyelesaian yang konkret.

"Pengakuan ini harus dibarengi dengan langkah penyelesaian yang konkret. Pelaku yang bertanggung jawab harus diproses sesuai hukum, dan pemulihan terhadap korban serta penyintas wajib dilakukan secara menyeluruh dan berkeadilan,” tuturnya.

Ia juga menyoroti masih jauhnya capaian pemulihan korban pelanggaran HAM berat. Berdasarkan data Kementerian HAM, baru sekitar 600 korban yang telah dipulihkan, sementara lebih dari 7.000 korban telah teridentifikasi.

“Angka ini menunjukkan bahwa pekerjaan rumah negara masih sangat besar. Peta jalan harus menjawab kesenjangan ini, bukan justru menormalisasi lambannya penyelesaian,” ungkap Mafirion.

Mafirion menambahkan, peta jalan harus menjadi panduan kerja yang terukur, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan, bukan sekadar dokumen kebijakan tanpa tindak lanjut yang jelas.

Karena itu, ia meminta seluruh pemangku kepentingan, mulai dari Kementerian HAM, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, hingga Mahkamah Agung, bersinergi dan menunjukkan komitmen yang sama.

"Jangan ada lagi upaya saling lempar tanggung jawab, apalagi menutup-nutupi fakta. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat adalah prasyarat penting bagi keadilan, rekonsiliasi nasional, dan kepercayaan publik terhadap negara," imbuh Mafirion.

Baca juga: Kementerian HAM Perkuat Penyelesaian Sengketa Humanis Melalui Mediasi Non-litigasi

Sementara itu, Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Kementerian HAM, Munafrizal Manan mengatakan hambatan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lewat jalur yudisial alias pengadilan, bertumpu pada minimnya ketersediaan barang bukti. 

Ia menerangkan, kasus pelanggaran HAM berat masa lalu masuk dalam kategori tindak pidana khusus. Pembuktiannya, mensyaratkan ketentuan yang amat ketat. Seperti harus ada barang bukti kuat, untuk menihilkan keraguan.

"Untuk bisa menghukum orang itu kan harus beyond reasonable doubt, jadi tidak boleh ada keraguan. Nah lembaran pembuktian itulah yang dihadapi oleh penegak hukum sulit ya," kata Munafrizal dalam acara peluncuran dan publikasi Peta Jalan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, di Jakarta, Senin (15/12/2025).

Di sisi lain, penegak hukum terkendala dalam menemukan atau mengumpulkan barang bukti dalam satu kasus. Sehingga penyelesaian kasus dari bidang yudisial berjalan mandeg atau tertahan.

"Karena kasusnya ini adalah kasus hukum, kita sebut sebagai pidana khusus, maka pada ujungnya adalah pembuktian," katanya.

Munafrizal menjelaskan dari 16 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, baru ada empat kasus yang diputus oleh pengadilan HAM. Di antaranya Timor Timur, Abepura, Tanjung Priok, dan Paniai. 

Tapi penyelesaian yudisial ini juga berujung pada nihilnya pelaku yang dihukum pidana. Lagi - lagi, karena minimnya ketersediaan barang bukti.

"Tapi penyelesaian yudisial yang pada akhirnya tidak ada pelaku yang dihukum. Artinya itu pun dalam perspektif keadilan orang-orang dan keluarganya juga mungkin akan bertanya juga apakah penyelesaian yudisial seperti itu," ungkap dia.

 

Diakui Jokowi 

Duabelas pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut sudah diakui Presiden ke-7 Joko Widodo atau Jokowi pada Januari 2023.

Hal ini disampaikan Jokowi setelah menerima Laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM).

"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023).

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.