Edukasi pra nikah menjadi benteng penting dalam membentuk karakter, moral, dan kesiapan mental generasi muda

Kabupaten Bogor (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor, Jawa Barat, menjadikan Program Sekolah Pra Nikah sebagai benteng pencegahan pernikahan dini melalui penguatan edukasi, karakter, dan kesiapan generasi muda sebelum memasuki jenjang pernikahan.

Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bogor Ajat Rochmat Jatnika di Cibinong, Rabu, mengapresiasi penyelenggaraan Sekolah Pra Nikah yang dinilai strategis dalam membekali anak dan remaja dengan pemahaman nilai kehidupan, pernikahan, serta tanggung jawab sejak dini.

Pemkab Bogor melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) bekerja sama dengan Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) serta IPB University telah menyelenggarakan Wisuda Sekolah Pra Nikah Tahun 2025 di Cibinong pekan lalu.

Menurut Ajat, anak dan remaja saat ini menghadapi tantangan serius, mulai dari pola konsumsi pangan tidak sehat, pengaruh gaya hidup, budaya senang-senang berlebihan, degradasi nilai keimanan, hingga dampak negatif media dan tontonan.

“Edukasi pra nikah menjadi benteng penting dalam membentuk karakter, moral, dan kesiapan mental generasi muda,” kata Ajat.

Ia juga menyoroti kondisi demografi Kabupaten Bogor yang didominasi usia produktif. Oleh karena itu peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) perlu terus diperkuat agar tidak memicu persoalan sosial seperti putus sekolah dan pernikahan dini.

“Sekolah Pra Nikah ini diharapkan menanamkan kesadaran bahwa pernikahan bukan hanya urusan hari ini, tetapi perjalanan panjang yang penuh tanggung jawab, baik di dunia maupun di akhirat,” ujarnya.

Sementara itu Kepala DP3AP2KB Kabupaten Bogor Sussy Rahayu Agustini menyampaikan jumlah penduduk Kabupaten Bogor mencapai sekitar 5,8 juta jiwa, dengan 1,78 juta diantaranya merupakan anak-anak di bawah usia 18 tahun.

Ia menegaskan pernikahan anak masih menjadi persoalan serius, mengingat Jawa Barat merupakan provinsi dengan angka pernikahan anak tertinggi secara nasional, termasuk Kabupaten Bogor sebagai salah satu daerah dengan jumlah kasus cukup tinggi.

“Pernikahan anak berdampak besar terhadap kesehatan, pendidikan, psikologis, dan kesejahteraan anak, khususnya anak perempuan,” katanya.

Menurut Sussy, risiko kehamilan usia dini, kematian ibu dan anak, trauma psikologis, hingga kekerasan dalam rumah tangga merupakan konsekuensi yang harus dicegah bersama melalui pendekatan edukatif.

Ia menjelaskan faktor penyebab pernikahan anak meliputi kemiskinan dan keterbatasan akses pendidikan, pengaruh sosial budaya, dampak media sosial, serta kehamilan di luar nikah.

“Oleh karena itu kami mendorong penguatan program edukatif yang mempersiapkan remaja secara matang sebelum memasuki jenjang pernikahan melalui sekolah pra nikah,” ujarnya.