TRIBUNTRENDS.COM - Langit malam Surakarta pada Selasa (16/12/2025) menjadi saksi sejarah baru bagi Keraton Kasunanan Surakarta.
Setelah melewati proses pemugaran panjang sepanjang tahun 2025, Panggung Songgo Buwono, salah satu menara paling ikonik sekaligus paling sakral di jantung Solo, resmi kembali difungsikan.
Revitalisasi ini bukan sekadar urusan fisik bangunan. Ini adalah upaya menghidupkan kembali "napas" spiritual, budaya, dan sejarah yang sempat meredup. Mari kita selami lebih dalam makna di balik menara segi delapan ini.
Suasana sakral begitu terasa saat peresmian berlangsung. KGPH Mangkubumi, putra tertua Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, hadir mendampingi Menteri Kebudayaan, Fadli Zon.
Keduanya tampak gagah mengenakan busana adat jawi jangkep, melangkah memasuki bangunan berlantai lima yang selama berabad-abad menjadi saksi bisu perjalanan Kerajaan Mataram Islam di Jawa Tengah.
Fadli Zon mengungkapkan bahwa keberhasilan proyek ini adalah buah dari dialog panjang.
Sejak awal 2025, pemerintah memfasilitasi komunikasi intensif dengan keluarga keraton untuk memastikan pemugaran tetap menjaga keaslian nilai-nilainya.
Menariknya, pembenahan ini tidak hanya menyasar menara, tetapi juga mencakup area museum di dalam kompleks keraton.
Baca juga: Ketidakhadiran PB XIV Purbaya di Peresmian Museum Keraton Solo, GKR Timoer: Benar-benar Tak Diundang
Didirikan pada tahun 1777 Masehi (1708 tahun Jawa Ehe) oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III, Panggung Songgo Buwono menyimpan rahasia filosofis yang mendalam.
Dengan tinggi mencapai 30 hingga 36 meter, ia pernah menyandang status sebagai salah satu menara tertinggi di kerajaan Asia Tenggara pada masanya.
Namun, di balik arsitekturnya yang megah, terselip ramalan atau sengkalan berbunyi nogo muluk tinitan jalmo. Kalimat ini menyiratkan sebuah keyakinan kuno:
"Bahwa suatu saat rakyat akan memilih pemimpinnya sendiri."
Filosofi ini dianggap oleh banyak kalangan sebagai ramalan yang menjadi kenyataan pada tahun 1945, saat Indonesia merdeka dan kedaulatan berpindah ke tangan rakyat.
Baca juga: Naik ke Songgo Buwono Keraton Solo, Fadli Zon Disebut Pelecehan Adat, Sosok Ini yang Boleh Masuk
Secara historis, Panggung Songgo Buwono memiliki fungsi ganda yang unik:
Mata-Mata Langit (Pertahanan): Pada masa kolonial, menara ini menjadi pos pemantau strategis.
Prajurit keraton bisa dengan leluasa mengawasi pergerakan di Alun-alun hingga aktivitas tentara Belanda di Benteng Vastenburg yang terletak di sisi utara.
Ruang Sunyi (Spiritual): Di puncaknya, raja melakukan malenggeng atau bertapa. Di ruang sakral inilah, sang penguasa melakukan komunikasi batin dan laku spiritual demi kesejahteraan rakyatnya.
Poros Dunia (Axis Mundi)
Dalam konsep tata ruang tradisional Jawa, posisi menara ini bukanlah kebetulan.
Panggung Songgo Buwono dipandang sebagai Axis Mundi atau poros dunia.
Ia adalah titik temu antara Buwono Agung (alam semesta), Buwono Cilik (manusia), dan Buwono Tengahan (keraton).
Menara ini melambangkan keseimbangan sempurna yang harus dijaga oleh seorang pemimpin.
Baca juga: Polemik Tahta! Fadli Zon Mandat Tedjowulan Jadi Jembatan Dialog Keluarga Keraton Solo
Perjalanan bangunan ini tidaklah mulus. Panggung Songgo Buwono sempat luluh lantak akibat kebakaran besar pada 19 November 1954.
Butuh waktu lima tahun hingga akhirnya direkonstruksi pada 1959. Kini, setelah pemugaran besar-besaran di tahun 2025, menara ini kembali berdiri tegak, siap menyongsong masa depan tanpa meninggalkan akar sejarahnya.
(TribunTrends.com/TribunSolo.com)