ADAM JULIANDIKA, S.H, M.H, alumnus Fakultas Hukum Universitas Abulyatama, melaporkan dari Banda Aceh
Pulau Rubiah selama ini dikenal luas sebagai destinasi wisata bahari di Kota Sabang. Keindahan laut, terumbu karang, serta ketenangan suasananya menarik minat banyak pengunjung dari berbagai daerah.
Namun, sebelum dikenal sebagai lokasi rekreasi, pulau kecil di ujung barat Nusantara ini pernah memegang peran penting dalam sejarah perjalanan haji Nusantara.
Fakta tersebut kembali dihadirkan ke ruang publik melalui Bedah Buku “Menyingkap Keberadaan dan Peran Stasiun Karantina Haji Pulau Rubiah” yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh (DPKA), 16 November lalu.
Bedah buku ini menjadi ruang dialog untuk membaca ulang Pulau Rubiah sebagai bagian dari sejarah sosial dan kebijakan kesehatan publik pada masa kolonial.
Buku tersebut ditulis oleh tiga penulis dengan latar belakang keilmuan yang saling melengkapi: Yarmen Dinamika, wartawan Harian Serambi Indonesia dan Pembina Forum Aceh Menulis, menghadirkan perspektif jurnalistik dan literasi. Melinda Rahmawati MPd, Asisten Riset Sekolah Pascasarjana Uhamka sekaligus penerima Beasiswa Unggulan Kemendiktisaintek 2023, memperkuat analisis akademik buku ini.
Penulis berikutnya, Muhamad Ihwan MSi, Kepala Balai Arsip Statis dan Tsunami Aceh ANRI.
Apa yang mereka tulis bertiga menghadirkan kekuatan arsip sebagai fondasi sejarah dan memori kolektif bangsa.
Berdasarkan penelusuran arsip dan kajian historis, Rubiah diketahui pernah berfungsi sebagai stasiun karantina haji pada awal abad 20. Jemaah haji yang kembali dari tanah suci (Mekkah dan Madinah) tidak langsung melanjutkan perjalanan ke kampung asal, tetapi diwajibkan menjalani masa karantina.
Kebijakan ini berkaitan dengan kekhawatiran terhadap penyebaran wabah penyakit di dunia (pes, kolera, cacar, dan flu Spanyol) yang saat itu menjadi perhatian serius pemerintah kolonial.
Selain itu, kebijakan karantina juga mencerminkan sistem administrasi kolonial dalam mengatur dan mengendalikan mobilitas penduduk antarnegara.
Pulau Rubiah, dalam konteks tersebut, tidak hanya berfungsi sebagai ruang medis. Ia juga menjadi bagian dari mekanisme pengawasan kolonial terhadap pergerakan umat Islam.
Perjalanan haji tidak semata dimaknai sebagai ibadah, tetapi juga dipandang sebagai aktivitas sosial yang membawa potensi penyebaran gagasan, pengetahuan, dan jaringan baru.
Oleh karena itu, keberadaan stasiun karantina haji memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar kebijakan protokol kesehatan.
Meski demikian, buku ini menunjukkan bahwa Rubiah juga menyimpan kisah-kisah kemanusiaan yang jarang dibicarakan.
Jemaah haji harus menunggu dalam keterbatasan fasilitas, hidup jauh dari keluarga, serta menjalani masa transisi yang penuh ketidakpastian.
Pulau Rubiah menjadi ruang antara tanah suci dan rumah jemaah. Pengalaman tersebut meninggalkan jejak emosional yang jarang tercatat dalam narasi sejarah arus utama.
Saat presentasi tentang buku, Yarmen Dinamika menekankan pentingnya menulis sebagai cara menjaga ingatan.
Ia menyampaikan bahwa “menulis rutin dapat melawan kepikunan. Dengan menulis, otak Anda akan sangat berterima kasih.”
Menulis, menurutnya, bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan upaya merawat kesadaran agar sejarah tidak tenggelam dalam diam dan dilupakan oleh generasi berikutnya.
Yarmen juga menegaskan bahwa “menulis adalah cara kita berbicara dengan dunia, tanpa batas waktu dan jarak.” Pernyataan ini relevan dengan upaya menghadirkan kembali Pulau Rubiah ke ruang publik. Melalui buku dan diskusi, pulau yang selama ini hanya dikenal sebagai destinasi wisata dapat dibaca ulang sebagai bagian penting dari sejarah Aceh dan Indonesia.
Tulisan menjadi jembatan antara arsip masa lalu dan pembaca masa kini.
Sebuah kutipan lain turut dinukilkan Yarmen di pengujung presentasinya, “Menulislah sebelum namamu ditulis di atas batu nisan.” Kutipan ini menjadi pengingat bahwa sejarah hanya akan hidup jika ada yang bersedia mencatatnya. Tanpa tulisan, pengalaman manusia mudah hilang dari ingatan kolektif, meskipun peristiwa tersebut pernah memiliki dampak besar dalam kehidupan sosial.
Diskusi juga menyoroti rendahnya pengetahuan generasi muda terhadap fungsi historis Pulau Rubiah. Banyak yang mengenalnya hanya sebagai lokasi wisata bahari, tetapi belum memahami perannya dalam sejarah perjalanan haji dan kebijakan kesehatan publik di era kolonial.
Kondisi ini menunjukkan adanya jarak antara sejarah dan generasi muda. Buku ini menjadi jembatan yang mempertemukan arsip masa lalu dengan kesadaran generasi Aceh dan Indonesia hari ini.
Muhamad Ihwan dalam narasi biodatanya menegaskan bahwa arsip memiliki peran penting dalam menjaga keutuhan sejarah. Arsip bukan sekadar dokumen lama, melainkan bukti autentik yang memungkinkan masyarakat membaca masa lalu secara kritis dan bertanggung jawab. Tanpa arsip, sejarah mudah disederhanakan dan kehilangan konteks.
Sementara itu, Melinda Rahmawati menekankan pentingnya riset dan literasi agar narasi dari wilayah pinggiran tidak terus tersisih dari sejarah nasional.
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh, Dr Syaridin MPd menyampaikan bahwa kegiatan bedah buku merupakan bagian dari upaya mendekatkan arsip dan sejarah kepada masyarakat.
Diskusi publik menjadi ruang penting agar sejarah tidak berhenti di ruang penyimpanan, tetapi hadir dalam kesadaran bersama dan menjadi bahan refleksi sosial.
Rubiah menunjukkan bahwa ruang kecil dapat memiliki makna besar dalam sejarah. Ia terhubung dengan perjalanan haji, kebijakan kesehatan, dan dinamika kolonialisme.
Membaca ulang Pulau Rubiah melalui buku ini berarti mengembalikan ingatan yang lama terpinggirkan ke tempat yang layak dalam narasi sejarah Aceh dan Indonesia.
Bagi generasi muda, Pulau Rubiah memberi pelajaran bahwa sejarah tidak selalu hadir di pusat kota atau buku pelajaran. Ia sering tersembunyi di tempat sunyi yang jarang dibicarakan. Selama ada yang menulis, membaca, dan mendiskusikannya, ingatan itu akan tetap hidup dan relevan bagi masa kini.
Kehadiran saya dalam bedah buku ini juga memiliki makna personal. Saya berkesempatan hadir atas undangan salah satu penulis, Bang Yarmen Dinamika. Undangan ini saya terima sebagai bentuk kepercayaan sekaligus kehormatan. Kegiatan bedah buku ini turut menumbuhkan semangat saya dalam dunia menulis. Melihat para penulis dan narasumber yang konsisten berkarya, saya semakin terdorong untuk suatu hari dapat menghasilkan buku dan karya tulis yang memiliki nilai sejarah dan sosial.
Lebih dari itu, kegiatan ini membuka ruang harapan akan kolaborasi lintas generasi, khususnya antara penulis muda dan para senior.
Keikutsertaan Sahabat Muda Aceh Komunitas (perwakilam saya) dalam kegiatan positif semacam ini juga menjadi kehormatan tersendiri, sekaligus bukti bahwa komunitas pemuda memiliki peran penting dalam gerakan literasi.
Inspirasi tersebut semakin kuat ketika saya merefleksikan perjalanan akademik pribadi. Pada 25 November 2025, saya baru saja menyelesaikan studi magister hukum di Universitas Abulyatama Aceh.
Insyaallah, jika tidak ada halangan, pada tahun 2026 saya akan melanjutkan studi ke jenjang doktoral (S-3). Semangat tersebut tidak lepas dari dosen pembimbing tesis saya, yakni Ibu Dr Siti Rahmah SH, MKn. Beliau ini juga dekan S-2 saya, yang dikenal sebagai sosok inspiratif dalam dunia literasi dan penulisan.
Semangat beliau menjadi pengingat bahwa menulis bukan sekadar aktivitas akademik, melainkan juga bagian dari pengabdian intelektual kepada masyarakat. (*)