Pilkada Tidak Langsung: Langkah Mundur Demokrasi di Tengah Krisis Kepercayaan Pada Wakil Rakyat
December 19, 2025 05:11 PM

 

Oleh: Assist. Prof. Mochammad Farisi, LL.M
Dosen Hukum Internasional Universitas Jambi

*Ketika Gagasan Lama Dihidupkan Kembali*

Wacana mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari sistem langsung oleh rakyat menjadi tidak langsung melalui DPRD, kembali mengemuka. Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia secara terbuka menyampaikan pandangan tersebut dalam beberapa pernyataan publik, termasuk saat peringatan HUT Partai Golkar. Alasan yang dikemukakan relatif klasik: Pilkada langsung dianggap terlalu mahal, rawan konflik, dan membebani keuangan negara maupun daerah.

Narasi ini sekilas terdengar rasional. Namun jika ditarik lebih dalam, justru memperlihatkan cara berpikir yang dangkal, elitis, dan mengabaikan akar masalah sesungguhnya dari mahalnya demokrasi elektoral di Indonesia. Lebih dari itu, wacana ini mengandung bahaya laten: mengembalikan kedaulatan rakyat ke tangan elite politik, pada saat kepercayaan publik terhadap DPRD dan partai politik justru berada pada titik nadir.

Pertanyaannya sederhana: Mengapa solusi atas mahalnya Pilkada justru dengan mencabut hak rakyat untuk memilih secara langsung?

*Lahir dari Ketidakpercayaan terhadap DPRD*

Perlu ditegaskan bahwa Pilkada langsung bukanlah kebetulan sejarah. Ia lahir sebagai buah dari trauma politik masa lalu, ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD pada masa Orde Baru hingga awal Reformasi. Saat itu, proses pemilihan sarat dengan transaksi politik, jual beli suara, tekanan kekuasaan, dan campur tangan pusat. Rakyat menjadi penonton, sementara elite menjadi penentu.

Reformasi 1998 kemudian melahirkan kesadaran kolektif bahwa DPRD tidak dapat lagi dipercaya sebagai satu-satunya penentu kekuasaan lokal. Oleh karena itu, Pilkada langsung diperkenalkan sebagai koreksi historis atas demokrasi yang dimanipulasi elite. Rakyat diberi kembali haknya untuk menentukan secara langsung siapa yang memimpin mereka.

Ironisnya, kini di saat kinerja DPRD di banyak daerah belum menunjukkan perbaikan signifikan, bahkan kerap disorot karena korupsi, konflik kepentingan, dan politik transaksional, justru muncul gagasan untuk mengembalikan kekuasaan memilih kepala daerah kepada DPRD. Ini bukan sekadar mundur selangkah, tetapi melompat jauh ke belakang.

*Ironi Data: Lembaga yang Paling Tidak Dipercaya Justru Diberi Kewenangan*

Berbagai hasil survei nasional secara konsisten menunjukkan bahwa parlemen (DPR/DPRD) dan partai politik adalah lembaga yang paling rendah tingkat kepercayaannya di mata publik. Lembaga-lembaga survei kredibel seperti Indikator Politik Indonesia, LSI, dan Litbang Kompas berulang kali menempatkan DPR dan partai politik di posisi terbawah dalam indeks kepercayaan publik, jauh di bawah Presiden, TNI, Polri, KPK, bahkan Mahkamah Agung.

Artinya, rakyat tidak sedang percaya kepada DPR dan parpol. Kepercayaan itu runtuh karena terlalu banyak kasus korupsi, konflik kepentingan, transaksi anggaran, hingga praktik oligarki politik yang telanjang.

Dalam konteks ini, mengembalikan Pilkada ke DPRD adalah sebuah ironi besar demokrasi:
kekuasaan memilih pemimpin justru diserahkan kepada lembaga yang paling tidak dipercaya rakyat. Ibarat menyerahkan kunci rumah kepada pihak yang paling sering diduga membobol rumah itu sendiri.

*Mahal Bukan di Rakyat, Tetapi di Partai Politik*

Alasan utama yang sering diangkat untuk menolak Pilkada langsung adalah biaya yang mahal. Namun, analisis ini sering salah alamat. Biaya besar Pilkada bukan terutama muncul karena rakyat memilih langsung, melainkan karena kerusakan serius di tubuh partai politik.

Berbagai riset dan laporan lembaga antikorupsi menunjukkan bahwa biaya politik terbesar justru terjadi dalam:
1) Mahar politik untuk mendapatkan rekomendasi partai, 2) Transaksi internal dalam proses pencalonan, 3) Politik uang antar-elite, bukan antar-rakyat semata.

Tidak sedikit calon kepala daerah yang harus mengeluarkan puluhan miliar rupiah hanya untuk mendapatkan tiket pencalonan dari partai. Biaya ini kemudian “dikembalikan” ketika berkuasa melalui korupsi anggaran, jual beli proyek, dan penyalahgunaan APBD. Dengan kata lain, mahalnya Pilkada adalah produk dari penyakit partai politik, bukan kesalahan rakyat yang memilih langsung.

Jika Pilkada dikembalikan ke DPRD, justru potensi transaksi akan semakin terkonsentrasi di lingkar elite. Biaya mungkin tidak terlihat di publik, tetapi akan jauh lebih brutal di ruang-ruang tertutup DPRD.

*Demokrasi Bisa Murah dengan Teknologi, Bukan dengan Mencabut Hak Rakyat*

Argumen biaya juga mengabaikan kemajuan teknologi. Pilkada langsung tidak identik dengan mahal jika negara serius melakukan digitalisasi pemilu. Penggunaan e-voting, rekapitulasi elektronik, dan penghapusan surat suara fisik dapat memangkas biaya secara drastis.

Beberapa negara telah membuktikan bahwa teknologi dapat membuat pemilu lebih murah, cepat, dan akurat. Indonesia pun sangat mungkin melakukan uji coba di daerah perkotaan yang infrastruktur digitalnya sudah matang. Masalahnya bukan pada sistem langsungnya, tetapi pada keengganan negara melakukan inovasi dan reformasi kelembagaan secara serius.

Mencabut hak rakyat untuk memilih bukanlah efisiensi, melainkan kemalasan politik yang dibungkus dengan narasi anggaran.

*Bertentangan dengan Filsafat Demokrasi*

Jika ditarik ke dalam filsafat politik, gagasan Pilkada tidak langsung bertentangan dengan roh demokrasi modern. John Locke mengajarkan bahwa kekuasaan hanya sah jika lahir dari persetujuan rakyat yang diperintah (consent of the governed). Pemilihan langsung adalah pengejawantahan persetujuan itu. Ketika rakyat tidak lagi memilih, maka legitimasi kekuasaan menjadi setengah cacat.

Sementara Jean-Jacques Rousseau bahkan lebih tegas: kedaulatan tidak boleh diwakilkan. Saat rakyat menyerahkan hak memilih kepada DPRD, pada saat itu pula kedaulatan sejatinya telah berpindah ke tangan elite. Dalam konteks Indonesia yang masih bergulat melawan oligarki, ini adalah kemunduran serius.

Dalam perspektif demokrasi substantif, yang dipersoalkan bukan hanya prosedur, melainkan siapa yang sesungguhnya mengendalikan kekuasaan. Pilkada langsung menjaga agar kontrol tetap berada di tangan rakyat. Pilkada tidak langsung justru membuka ruang lebar bagi oligarki partai, politik dagang sapi, dan kooptasi kekuasaan.

*Masalahnya Bukan Pilkada, Tetapi Partainya*

Akar persoalan sesungguhnya bukan pada sistem pemilihan langsung, melainkan pada kerusakan sistem rekrutmen politik dalam partai. Partai politik hari ini masih jauh dari institusi kaderisasi yang sehat. Ia lebih menyerupai mesin elektoral yang berorientasi modal, bukan integritas dan kapasitas.

Jika negara benar-benar ingin memperbaiki demokrasi dan menekan biaya politik, maka yang harus dilakukan adalah: 1) Reformasi total partai politik, terutama sistem rekrutmen dan pendanaan, 2) Penghapusan mahar politik secara tegas dan terukur, 3) Audit transparan keuangan partai, 4) Demokratisasi internal partai yang sungguh-sungguh.

Tanpa reformasi partai politik, Pilkada tidak langsung justru akan melipatgandakan masalah, bukan menyelesaikannya.

*Ancaman Kembalinya Demokrasi Elite*

Pilkada tidak langsung berisiko menghidupkan kembali demokrasi elite, sebuah model di mana kekuasaan diputar di antara segelintir orang, sementara rakyat hanya menjadi legitimasi pasif lima tahunan. Dalam situasi seperti ini, kepala daerah lebih bertanggung jawab kepada elite partai dan anggota DPRD, bukan kepada rakyat.

Akibatnya dapat diprediksi: 1) Akuntabilitas publik melemah, 2) Korupsi politik meningkat, 3) Kebijakan lebih berpihak pada kepentingan elite daripada kepentingan warga.

Ini bukan sekadar soal mekanisme pemilihan, tetapi soal ke arah mana demokrasi Indonesia sedang digiring: menuju kedaulatan rakyat atau kedaulatan elite.

*Jalan Tengah: Reformasi Partai + Digitalisasi Pilkada*

Indonesia tidak harus memilih secara ekstrem antara Pilkada langsung atau tidak langsung. Jalan tengah yang rasional adalah kombinasi antara:

Reformasi total partai politik, dan Digitalisasi Pilkada secara bertahap dan terukur.

Dengan reformasi partai, biaya politik dapat ditekan dari hulunya. Dengan digitalisasi, biaya teknis pemilihan dapat ditekan dari hilirnya. Rakyat tetap memilih langsung, tetapi dengan biaya jauh lebih murah, transparansi lebih tinggi, dan akuntabilitas lebih kuat.

Inilah solusi struktural, bukan solusi populis yang justru mencabut hak dasar warga negara.

*Penutup: Jangan Hukum Rakyat atas Dosa Elite*

Pilkada langsung memang belum sempurna. Ia masih diwarnai politik uang, konflik, dan biaya tinggi. Namun solusi atas cacat demokrasi bukanlah dengan mematikan demokrasinya itu sendiri. Mengembalikan Pilkada ke DPRD sama artinya dengan menghukum rakyat atas dosa-dosa elite politik dan partai.

Lebih ironis lagi, wacana ini muncul justru ketika DPRD dan partai politik sedang berada di titik kepercayaan terendah dalam sejarah Reformasi. Memberi kembali mereka kewenangan memilih kepala daerah bukan hanya irasional, tetapi juga berbahaya bagi masa depan demokrasi lokal.

Demokrasi mungkin mahal. Tetapi oligarki jauh lebih mahal bagi masa depan bangsa. Jika negara benar-benar ingin menyehatkan demokrasi, maka yang harus direformasi pertama-tama adalah partai politik, bukan hak memilih rakyat.

Sebab ketika hak memilih dicabut, yang kita kehilangan bukan sekadar prosedur elektoral, melainkan hakikat kedaulatan itu sendiri.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.