Adopsi AI di sektor ritel Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat, dengan 28% bisnis telah menggunakan AI dan total 5,9 juta usaha mengadopsinya sepanjang 2024. Angka ini bahkan melampaui tingkat adopsi ritel di Amerika Serikat.
Antusiasme terhadap kecerdasan buatan di kalangan peritel Indonesia tergolong tinggi, seiring rencana hampir 75% peritel global untuk meningkatkan investasi infrastruktur AI dalam dua tahun ke depan. Namun, di balik momentum positif ini, kesiapan operasional masih menjadi tantangan besar.
"Hambatan utama adopsi AI di ritel Indonesia bukan terletak pada teknologinya, melainkan pada fondasi data dan sumber daya manusia. Banyak peritel masih menghadapi data yang terfragmentasi akibat sistem lama (legacy systems), kualitas data yang rendah, serta belum adanya strategi data terpadu," ujar Rosemary DeAragon, Global Head of Retail and Travel di Snowflake.
"Kekhawatiran terhadap keamanan dan tata kelola data juga memperlambat adopsi, diperparah dengan kekurangan talenta digital—Indonesia diperkirakan membutuhkan sembilan juta tenaga kerja digital pada 2030," tambahnya.
Agar implementasi AI memberikan dampak nyata, peritel perlu membangun strategi data yang kuat sebelum mengadopsi model AI yang kompleks. Praktik terbaiknya adalah menggunakan satu platform data terpadu yang aman, memiliki tata kelola yang baik, dan mudah digunakan.
Platform semacam ini mampu menghilangkan silo data, menyatukan data terstruktur maupun tidak terstruktur, serta memungkinkan AI digunakan secara efektif dalam operasional harian. Tanpa fondasi ini, investasi AI berisiko gagal memberikan nilai bisnis.
Pengalaman global menunjukkan bahwa kesiapan data berbanding lurus dengan ROI AI. Workwear Group di Australia, misalnya, berhasil menurunkan biaya hingga 30% hanya dengan menyederhanakan pembaruan metrik setelah membangun single source of truth.
Studi Forrester juga mencatat bahwa perusahaan yang mengadopsi platform data dan AI modern mampu meraih ROI hingga 354% dalam tiga tahun, dengan peningkatan pendapatan dan margin operasional yang signifikan.
Dari sisi investasi, AI tidak lagi identik dengan biaya awal yang besar. Platform cloud modern menggunakan skema bayar sesuai pemakaian, memungkinkan peritel menengah memulai dari proyek kecil dan meningkatkan skala secara bertahap.
Selain itu, time-to-value menjadi jauh lebih cepat—banyak organisasi mampu mencapai titik balik modal (payback) dalam waktu kurang dari enam bulan, sehingga manfaat bisnis dapat dirasakan hampir secara langsung.
Ke depan, integrasi data online dan offline serta pemanfaatan analitik real-time akan menjadi kunci daya saing ritel. Analitik real-time memberikan gambaran kondisi saat ini, sementara AI memanfaatkan data historis untuk memprediksi permintaan dan merekomendasikan tindakan.
Kombinasi keduanya memungkinkan peritel mengoptimalkan inventori, meningkatkan pengalaman pelanggan, dan mengambil keputusan berbasis data secara lebih cepat dan presisi—menciptakan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan di era AI ritel.