TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2025 dinilai menjadi penguat bagi para pelaku budaya agar terus menjaga, mengembangkan, dan mewariskan tradisi kepada generasi berikutnya.
Hal tersebut disampaikan oleh dua penerima AKI 2025, Yusri Saleh, pencipta Tari Ratoh Jaroe dari Aceh, dan Uswatun Hasanah, pelestari Batik Tulis Tenun Gedhog dari Jawa Timur.
Yusri Saleh, penerima AKI 2025 kategori Pelopor dan/atau Pembaru, menilai penghargaan ini sebagai pengakuan negara atas perjalanan panjangnya berkarya di bidang seni tari tradisi.
“Setelah 25 tahun saya berkarya dengan Ratoh Jaroe, anugerah ini menjadi pencapaian yang sangat berarti. Sekaligus menjadi tantangan baru bagi saya untuk membawa Ratoh Jaroe berkembang lebih jauh dengan tetap menjaga nilai-nilai dasarnya,” ujar Yusri dalam keterangannya, Jumat (19/12/2025).
Menurut Yusri, Ratoh Jaroe tidak hanya diposisikan sebagai karya seni pertunjukan, tetapi juga sebagai media pendidikan budaya, khususnya bagi generasi muda. Tarian ini berakar kuat pada nilai-nilai budaya Aceh dan karakter islami yang melekat dalam setiap gerakannya.
“Tantangan terbesar adalah menjaga ruh tradisi dan nilai syariatnya, sekaligus membuat tarian ini tetap relevan bagi anak-anak muda, terutama pelajar SMP dan SMA,” katanya.
Ia menilai kehadiran negara melalui AKI memiliki peran penting dalam memastikan keberlanjutan seni tradisi.
“Dengan adanya AKI, para seniman merasa diperhatikan. Negara punya andil besar agar kerja-kerja kebudayaan terus berjalan dan tidak terputus,” ungkapnya.
Sementara itu, Uswatun Hasanah, penerima AKI 2025 kategori Pelestari, mengapresiasi penghargaan tersebut sebagai bentuk pengakuan atas upaya panjangnya menjaga Batik Tulis Tenun Gedhog, tradisi tekstil langka dari Tuban, Jawa Timur.
Sejak kecil, Uswatun telah akrab dengan dunia tenun dan batik. Ia merupakan generasi kelima pembuat tenun gedhog dalam keluarganya dan mulai memintal kapas sejak usia tujuh tahun. Pengetahuan tersebut diwariskan secara turun-temurun melalui praktik sehari-hari, ritual, serta penggunaan pewarna alam.
“Di masa remaja, kegiatan memintal, menenun, dan membatik sempat hampir hilang. Karena itu pada tahun 1993 saya membuka sanggar agar tradisi ini bisa hidup kembali dan dikenal oleh anak-anak serta remaja,” tuturnya.
Upaya tersebut tidak selalu berjalan mudah. Namun, Uswatun menilai penghargaan AKI 2025 menjadi penyemangat baru untuk terus melangkah. Ia menyatakan anugerah yang diterimanya membuat dirinya yakin bahwa usaha melestarikan tenun gedhog tidak sia-sia.
Menurutnya, hal tersebut menjadi dorongan untuk terus memperkenalkan batik tulis tenun gedhog agar tidak punah dan memberi manfaat ekonomi bagi para perajinnya. Ia juga menilai dukungan Kementerian Kebudayaan sangat dirasakan oleh para pelaku budaya di daerah.
“Perhatian dan dukungan yang diberikan, termasuk melalui pameran dan ruang apresiasi, sangat membantu kami untuk memperluas jangkauan pengenalan tenun gedhog,” ujarnya.
Bagi Yusri Saleh dan Uswatun Hasanah, Anugerah Kebudayaan Indonesia 2025 tidak hanya dimaknai sebagai bentuk penghargaan personal, tetapi sebagai penguatan ekosistem kebudayaan. Pengakuan negara dinilai penting untuk memastikan kebudayaan Indonesia tetap hidup, relevan, dan berkelanjutan di tengah perubahan zaman.
AKI diselenggarakan Kementerian Kebudayaan sebagai bentuk penghargaan tertinggi negara di bidang kebudayaan.
Penyelenggaraan AKI Tahap III ini mengusung tema Renjana Penggerak Budaya, yang menegaskan bahwa kebudayaan terus hidup dan berkembang berkat api renjana yang senantiasa menyala dalam diri para pelaku budaya.
AKI 2025 memberikan penghargaan kepada para pelaku budaya pada sejumlah kategori, yakni Maestro Seni Tradisi, Pelestari, Pelopor dan/atau Pembaru, Media, Anak, Masyarakat Adat, dan Sastra.