Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO – Kriteria penerimaan bantuan pemerintah Jepang bagi lembaga pendidikan semakin ketat. Kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi Jepang (MEXT) kini mewajibkan tingkat keterisian mahasiswa minimal 50 persen, dan tidak berlaku bagi sekolah internasional maupun institusi tertentu milik pemerintah.
Pengetatan sistem bantuan biaya pendidikan ini membuat banyak perguruan tinggi dua tahun (junior college/tanki daigaku) berada di ujung tanduk. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kampus yang menghentikan penerimaan mahasiswa baru terus meningkat.
Salah satu penyebab utamanya adalah penerapan sistem “penalti” bagi perguruan tinggi yang kekurangan mahasiswa. Program bantuan pendidikan yang mulai diberlakukan pada 2020 diperketat pada tahun fiskal 2024 dengan menambahkan syarat keterisian kuota mahasiswa.
Dalam aturan baru tersebut, perguruan tinggi yang selama tiga tahun berturut-turut mencatat tingkat keterisian di bawah 80 persen, pada prinsipnya akan dikeluarkan dari program bantuan.
Bahkan untuk tetap dipertimbangkan, kampus diwajibkan memenuhi syarat tambahan, yakni keterisian minimal 50 persen pada tahun terakhir serta tingkat kelulusan ke jenjang lanjutan atau penyerapan kerja di atas 90 persen.
Baca juga: Makna 10 Kali Patroli Gabungan Pesawat Pengebom Nuklir Rusia dan China: Gedor Pintu Jepang Sekutu AS
Kebijakan ini semakin menekan keberlangsungan junior college, terutama di daerah.
Salah satu dampak paling nyata terlihat di Takushoku University Hokkaido Junior College di Kota Fukagawa, Hokkaido. Kampus ini merupakan satu-satunya junior college berbasis pertanian di wilayah tersebut.
Dalam rapat dewan pengurus Januari 2025, pihak kampus memutuskan menghentikan penerimaan mahasiswa baru mulai tahun ajaran 2026. Padahal, setahun sebelumnya kampus masih berupaya mempertahankan Program Studi Bisnis Pertanian, meski Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini telah lebih dulu ditutup.
Namun, pengetatan sistem bantuan pendidikan membuat kampus tersebut dipastikan tidak lagi memenuhi syarat. Ironisnya, keputusan penutupan bertepatan dengan peringatan 60 tahun berdirinya kampus pada 2026.
“Meski tingkat penyerapan kerja lulusan kami tinggi dan sudah kami sampaikan kepada MEXT, syarat keterisian kuota minimal 50 persen pada tahun terakhir tidak dapat kami penuhi,” ujar sumber di kampus Takushoku Hokkaido, Jumat (19/12/2025).
Penalti tersebut memicu perdebatan di Dewan Pendidikan Pusat Jepang (Central Council for Education).
Sejumlah anggota menyampaikan kekhawatiran bahwa kebijakan ini akan berdampak serius terhadap ketersediaan sumber daya manusia di daerah, khususnya di sektor vital seperti pertanian dan pendidikan anak usia dini.
Dalam rekomendasi visi masa depan pendidikan tinggi yang dirilis Februari 2025, dewan tersebut mendorong peninjauan ulang syarat bantuan yang dinilai terlalu ketat.
Mulai tahun fiskal 2025, pemerintah melonggarkan aturan dengan mempertahankan status bantuan bagi kampus di luar wilayah metropolitan Tokyo, selama di prefektur yang sama tidak terdapat kampus alternatif dengan bidang gelar setara.
Meski demikian, ketidakpuasan masih muncul dari kalangan perguruan tinggi swasta. Mereka menilai kebijakan satu kampus per prefektur terlalu luas untuk wilayah pedesaan, dan meminta evaluasi berbasis kontribusi lokal, seperti penyerapan lulusan di sektor pendidikan dan layanan sosial.
Menanggapi hal tersebut, pejabat MEXT menyatakan bahwa peninjauan ulang syarat bantuan masih dimungkinkan. Namun, dengan laju penutupan junior college yang terus berlanjut, muncul kekhawatiran apakah kampus-kampus daerah mampu bertahan hingga kebijakan benar-benar direvisi.
Kebijakan pengetatan bantuan pendidikan oleh MEXT mencerminkan upaya pemerintah Jepang mengefisienkan sistem pendidikan tinggi di tengah penurunan populasi usia kuliah. Namun, penerapan indikator kuantitatif seperti keterisian mahasiswa berpotensi mengabaikan fungsi strategis kampus daerah.
Junior college selama ini menjadi tulang punggung penyedia tenaga kerja sektor lokal, mulai dari pertanian, pendidikan anak usia dini, hingga layanan sosial. Penutupan kampus-kampus tersebut berisiko mempercepat penurunan kapasitas SDM di daerah non-metropolitan, yang justru menjadi fokus revitalisasi Jepang dalam menghadapi krisis demografi.
Tanpa penyesuaian kebijakan yang mempertimbangkan kontribusi sosial dan ekonomi lokal, strategi rasionalisasi pendidikan berpotensi menciptakan ketimpangan baru antara pusat dan daerah.
Diskusi beasiswa pelajar di Jepang dilakukan Pencinta Jepang gratis bergabung. Kirimkan nama alamat dan nomor whatsapp ke email: tkyjepang@gmail.com