GPIG Sentrum, Gereja Tertua di Gorontalo Berdiri Sejak 1861
December 21, 2025 01:47 PM

 

TRIBUNGORONTALO.COM – Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo (GPIG) Jemaat Sentrum merupakan gereja tertua di Provinsi Gorontalo.

Sebelumnya, gereja ini dikenal sebagai Jemaat Imanuel Wilayah I Kota Gorontalo dan memiliki sejarah panjang sejak tahun 1861.

“Bangunan gereja ini menjadi saksi berbagai peristiwa penting dalam sejarah Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo (GPIG),” tulis Sejarawan Gorontalo, Joni Apriyanto, dalam tulisannya yang dikutip Minggu (21/12/2025).

Salah satu momen bersejarah adalah proklamasi berdirinya Sinode GPIG pada 18 Juli 1965 yang berlangsung di gedung gereja ini.

Seiring perkembangan gereja di Kota Gorontalo, untuk menghindari kebingungan dengan jemaat lain yang juga bernama Jemaat Imanuel, pada 4 Mei 2014 jemaat ini resmi berganti nama menjadi Jemaat GPIG Sentrum Gorontalo Wilayah I.

Gereja ini beralamat di Jl P Kalengkongan No 13, Kelurahan Tenda, Kecamatan Hulonthalangi, Kota Gorontalo.

Meskipun komunitas jemaat telah ada sejak 1861, bangunan gereja yang berdiri saat ini telah mengalami berbagai renovasi dan perubahan nama sesuai dinamika perkembangan gereja dan kebutuhan jemaat dari waktu ke waktu.

Dalam tulisan berikutnya, Joni mengulas hubungan antara Gereja GPIG Sentrum Gorontalo dengan hegemoni kolonial Belanda, yang dapat dianalisis melalui aspek historis, sosial, dan budaya.

Baca juga: Ibadah Minggu Jelang Natal GPIG Imanuel Gorontalo Dipadati Jemaat, 6 Agenda Disiapkan

Awal Penyebaran Agama Kristen di Gorontalo

Gereja ini didirikan pada tahun 1861, saat Gorontalo masih berada di bawah pengaruh kolonial Belanda.

Penyebaran agama Kristen dilakukan oleh misionaris Protestan yang kerap didukung pemerintah kolonial. Gereja menjadi salah satu alat Belanda untuk menyebarkan pengaruh budaya dan ideologi Barat.

Dalam konteks Gorontalo, pendirian gereja ini kemungkinan merupakan bagian dari strategi kolonial untuk mengintegrasikan wilayah ke dalam sistem pemerintahan dan budaya kolonial.

Gereja tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pendidikan dan pengajaran.

“Misionaris sering kali mendirikan sekolah-sekolah di sekitar gereja untuk mengajarkan agama Kristen, bahasa Belanda, dan nilai-nilai Barat,” jelas Joni dalam tulisannya.

Meskipun mayoritas penduduk Gorontalo memeluk Islam, kehadiran gereja ini menunjukkan adanya komunitas Kristen yang mulai terbentuk, baik dari penduduk lokal yang berpindah agama maupun dari pendatang yang bekerja untuk Belanda.

Arsitektur Kolonial

Desain gereja mencerminkan pengaruh arsitektur kolonial Belanda, dengan struktur sederhana, menara lonceng, dan simbol salib yang dominan. Elemen ini menjadi ciri khas gaya bangunan kolonial yang dibawa Belanda ke Nusantara.

Kehadiran gereja di Gorontalo pada masa kolonial dapat dilihat sebagai bagian dari upaya Belanda menanamkan hegemoni budaya. Namun, masyarakat Gorontalo yang mayoritas Muslim tetap mempertahankan identitas keislaman mereka. Hal ini menunjukkan adanya dinamika antara pengaruh kolonial dan resistensi lokal.

Setelah Indonesia merdeka, gereja ini tetap menjadi bagian penting dari komunitas Kristen di Gorontalo.

Proklamasi berdirinya Sinode GPIG pada tahun 1965 menunjukkan bahwa gereja ini terus beradaptasi dengan dinamika sosial dan politik setelah masa kolonial.

Gereja GPIG Sentrum Gorontalo mencerminkan hubungan erat antara misi Kristen yang dibawa kolonial Belanda dengan proses penyebaran agama di Gorontalo.

Meski demikian, masyarakat lokal tetap mempertahankan identitas budaya dan religius mereka, sehingga gereja ini lebih menjadi simbol keberagaman religius di Gorontalo daripada dominasi kolonial.

 

(TribunGorontalo.com/Herjianto Tangahu)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.