Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO – Sebanyak 452 warga yang tinggal di Jepang mengajukan gugatan ganti rugi negara ke Pengadilan Distrik Tokyo pada Kamis (18/12/2025). Mereka menilai kebijakan pemerintah Jepang dalam menangani perubahan iklim masih sangat tidak memadai dan telah menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Gugatan ini tercatat sebagai kasus pertama di Jepang yang secara langsung menjadikan negara sebagai tergugat dalam perkara tanggung jawab perubahan iklim.
Para penggugat menegaskan bahwa perubahan iklim bukan semata isu lingkungan, melainkan persoalan hak dasar manusia, karena berdampak langsung pada hak atas kehidupan, kesehatan, dan tumbuh kembang anak sebagaimana dijamin konstitusi Jepang dan berbagai perjanjian internasional.
Ketua tim kuasa hukum penggugat, pengacara Akihiro Shima (63), menegaskan tujuan utama gugatan ini adalah mendorong perubahan kebijakan negara.
Baca juga: Banjir Bandang Sumatra, Ketua DPD Dorong Percepatan Pembahasan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim
“Tujuan kami adalah memperkuat kebijakan iklim Jepang yang saat ini jelas tidak memadai. Perubahan iklim telah merenggut nyawa manusia. Kami ingin pengadilan secara tegas menyatakan bahwa perubahan iklim adalah pelanggaran hak asasi manusia,” ujarnya Kamis lalu (18/12/2025).
Sebelumnya, sejumlah gugatan serupa di Jepang memang pernah diajukan, namun seluruhnya ditujukan kepada perusahaan operator pembangkit listrik, bukan kepada negara.
Dalam gugatan tersebut, para penggugat menyoroti target penurunan emisi gas rumah kaca (NDC) Jepang yang ditetapkan pemerintah, yakni:
Sekilas target tersebut tampak sejalan dengan standar global. Namun menurut penggugat, angka itu menggunakan basis perbandingan tahun 2013, bukan tahun 2019 sebagaimana direkomendasikan Laporan Penilaian Keenam IPCC.
Jika dihitung ulang berbasis 2019, maka penurunan emisi Jepang hanya setara:
Angka tersebut dinilai lebih rendah dari standar global dan tidak sebanding dengan tanggung jawab Jepang sebagai negara maju yang telah lama menjadi penghasil emisi besar.
Ancaman perubahan iklim kini dinilai sudah nyata dampaknya terasa di Jepang. Data menunjukkan:
1. Korban meninggal akibat heatstroke pada 2024 menembus 2.000 orang, meningkat sekitar enam kali lipat dibanding 30 tahun lalu
2. Meningkatnya banjir bandang dan longsor akibat hujan ekstrem
3. Penurunan kualitas dan hasil panen pertanian yang memicu kenaikan harga bahan pangan
Para penggugat juga mengkritik tidak adanya undang-undang yang mengikat untuk menekan emisi, sehingga pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara masih terus berlanjut.
Salah satu penggugat, Akiyama Kiichi, pelaku usaha konstruksi di Tokyo, mengungkapkan kerugian nyata yang dialaminya.
Menurutnya, para pekerja konstruksi—yang sebagian besar berstatus pekerja mandiri—harus menanggung sendiri biaya perlindungan panas ekstrem.
“Di musim panas, biaya proyek bisa membengkak hingga tiga atau empat kali lipat. Ada rekan kerja yang sampai pingsan di lokasi akibat panas ekstrem,” katanya.
Kondisi tersebut dinilai melanggar hak atas keselamatan kerja, kebebasan berusaha, dan hak milik.
Gugatan ini juga mengacu pada preseden internasional. Di sejumlah negara seperti Belanda, Jerman, Swiss, dan Korea Selatan, pengadilan telah memutuskan bahwa target penurunan emisi yang tidak memadai melanggar hak warga negara.
Selain itu, pada Juli 2025, Mahkamah Internasional (ICJ) mengeluarkan pendapat hukum yang menegaskan bahwa penanganan perubahan iklim merupakan tanggung jawab negara.
Tim kuasa hukum menyatakan masih membuka partisipasi penggugat tambahan. Gelombang kedua gugatan direncanakan akan diajukan pada Februari 2026, dengan dukungan sejumlah penulis dan seniman Jepang sebagai penggagas gerakan.
Pengacara yang konsisten memperjuangkan hak publik, keadilan sosial, dan isu lingkungan hidup, termasuk menggugat kebijakan pemerintah yang dinilai lalai menghadapi krisis iklim.
Shima lahir di Nagoya, Prefektur Aichi, pada 11 November 1962. Ia merupakan lulusan Fakultas Politik dan Ekonomi Universitas Waseda. Uniknya, sebelum terjun ke dunia hukum, Shima dikenal sebagai musisi rock. Ia pernah menjadi vokalis band dengan nama panggung Shima Kikujiro, sehingga kerap dijuluki sebagai “Rock Lawyer” di Jepang.
Keputusan beralih profesi membawanya menempuh pendidikan hukum di Komazawa University Law School pada 2005. Setelah lulus dan memperoleh lisensi, ia resmi terdaftar sebagai pengacara (bengoshi) pada Desember 2010 sebagai anggota Tokyo Bar Association.
Pada Juli 2012, Shima mendirikan R-rights Law Office (アーライツ法律事務所) di Tokyo. Kantor hukum ini menangani berbagai perkara, mulai dari sengketa perdata, hukum konsumen, penipuan investasi, kepailitan, hingga kasus-kasus besar yang menyangkut kepentingan publik dan lingkungan.
Selain praktik hukum, Shima aktif dalam berbagai organisasi advokasi. Ia terlibat dalam Japan Environmental Lawyers Federation (JELF) serta sejumlah komite lingkungan dan perlindungan hewan di Tokyo Bar Association. Aktivismenya menempatkan hukum sebagai alat untuk mengoreksi kebijakan negara dan perilaku korporasi yang merugikan masyarakat.
Nama Akihiro Shima mendapat sorotan internasional ketika ia menjadi pengacara utama dalam gugatan warga terhadap Pemerintah Jepang terkait perubahan iklim. Dalam gugatan tersebut, Shima menilai kebijakan pemerintah belum cukup melindungi hak konstitusional warga negara atas kehidupan yang aman dan lingkungan yang sehat. Kasus ini menandai meningkatnya peran litigasi iklim di Jepang.
Dengan latar belakang yang tidak biasa—dari dunia musik ke ruang sidang—Shima dikenal sebagai pengacara dengan gaya lugas dan vokal. Ia menegaskan bahwa hukum tidak hanya berfungsi menyelesaikan sengketa, tetapi juga harus menjadi instrumen perubahan sosial demi masa depan yang berkelanjutan.
Diskusi lingkungan hidup di Jepang dilakukan Pencinta Jepang gratis bergabung. Kirimkan nama alamat dan nomor whatsapp ke email: tkyjepang@gmail.com