TRIBUNKALTIM.CO - Kabut tipis kerap menyelimuti dataran tinggi Krayan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Di balik hawa sejuk pegunungan perbatasan Indonesia–Malaysia itu, asap keabu-abuan perlahan mengepul dari sebuah rumah kayu tua yang berdiri sunyi di Desa Long Midang.
Asap tersebut keluar dari celah-celah papan yang telah menghitam dimakan usia, membawa aroma kayu bakar sekaligus cerita panjang tentang ketekunan masyarakat perbatasan menjaga warisan leluhur mereka: Garam Gunung Krayan.
Berbeda dengan garam yang lazim dikenal masyarakat Indonesia—yang berasal dari air laut dan diproduksi di kawasan pesisir—Garam Gunung Krayan justru berasal dari mata air asin alami di dataran tinggi pegunungan.
Keunikan inilah yang menjadikannya salah satu komoditas tradisional paling langka dan bernilai tinggi di Indonesia, sekaligus simbol identitas masyarakat Krayan.
Baca juga: Pakaian Bekas Ilegal dari Malaysia Disamarkan Jadi Karung Pupuk Sawit di Nunukan
Satu-satunya tempat produksi Garam Gunung Krayan berada di sebuah rumah kayu sederhana yang telah berdiri puluhan tahun di ujung Desa Long Midang.
Bangunan ini bukan pabrik modern, melainkan dapur tradisional yang mempertahankan metode pengolahan sejak masa nenek moyang.
Di dalam rumah tersebut, terdapat dua dapur produksi yang masing-masing bersumber dari dua sumur tua.
Sumur ini menjadi elemen paling krusial dalam seluruh proses pembuatan garam.
Air dari sumur inilah yang menjadi bahan baku utama Garam Krayan, dan hingga kini tidak ditemukan sumber air asin lain di sekitar wilayah tersebut.
Tak ada suara mesin atau peralatan listrik. Yang terdengar hanyalah letupan api dari kayu bakar, derak tungku dari drum bekas, serta bunyi air asin yang mendidih perlahan.
Tiga orang pekerja yang disebut Maba Tusuk—sebutan lokal bagi pengolah garam tradisional—dengan sabar mengaduk air asin di dalam wadah besi berbentuk persegi panjang.
Proses Panjang yang Dijaga dengan Kesabaran
Proses pembuatan Garam Gunung Krayan menuntut ketelitian dan kesabaran tinggi.
Air asin dari mata air pegunungan dipanaskan secara bertahap dengan suhu di atas 100 derajat Celsius sejak pagi hingga larut malam. Tidak ada jalan pintas dalam proses ini.
Air asin tersebut harus melalui tiga tahapan pemanasan.
Tahap pertama, air dipanaskan hingga mendidih di bagian awal tungku.
Setelah itu, cairan dipindahkan ke bagian tengah, lalu ke ujung tungku.
Pada tahapan terakhir inilah, kristal-kristal garam perlahan terbentuk dan mengendap.
Metode ini nyaris tak berubah selama puluhan tahun.
Tungku sederhana dari drum bekas, kayu bakar dari hutan sekitar, serta tenaga manusia menjadi saksi bagaimana tradisi leluhur tetap dipertahankan di tengah arus modernisasi.
Dalam sehari, rumah produksi ini hanya mampu menghasilkan sekitar 20 hingga 23 kilogram garam. J
umlah yang relatif kecil jika dibandingkan dengan permintaan pasar yang terus meningkat dari berbagai daerah.
Dua Sumur Tua yang Dipercaya Penuh Keajaiban
Maylova, anggota Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TPPK) Desa Long Midang, menjelaskan bahwa bahan baku Garam Krayan hanya berasal dari dua sumur tua yang terletak tepat di belakang rumah produksi.
Keunikan sumur ini terletak pada rasa airnya yang asin, berbeda dengan mata air lain di sekitarnya yang tetap tawar.
Masyarakat setempat mengenal keduanya sebagai sumur jantan dan sumur betina.
“Aneh tapi nyata. Dari dulu cuma dua sumur ini yang asin. Yang lain tawar semua,” ujar Maylova.
Bagi warga Krayan, kedua sumur tersebut bukan sekadar sumber air, melainkan berkah dari leluhur.
Airnya dipercaya memiliki nilai spiritual dan kekuatan magis.
Sebagian masyarakat meyakini air sumur ini dapat membantu menyembuhkan penyakit, bahkan menjadi perantara doa bagi mereka yang belum memiliki keturunan atau jodoh.
Keajaiban lain yang terus diceritakan turun-temurun adalah ketahanan air sumur yang tak pernah surut, meski musim kemarau panjang melanda wilayah tersebut.
Permintaan Tinggi, Produksi Tak Bisa Bertambah
Popularitas Garam Gunung Krayan terus meningkat seiring kesadaran masyarakat terhadap produk alami dan tradisional.
Namun ironisnya, peningkatan permintaan ini tidak bisa diimbangi dengan produksi yang lebih besar.
Keterbatasan sumber air asin menjadi kendala utama.
Meskipun keinginan untuk menambah jumlah pekerja dan memperbesar produksi ada, masyarakat tak berani melanggar batas alam yang telah diwariskan.
“Maunya kami tambah, tapi sumber airnya cuma dua. Dari dulu memang cuma ini yang asin. Ada sejarahnya,” tutur Maylova.
Meski diproduksi dalam jumlah terbatas, Garam Gunung Krayan justru mampu menghasilkan omzet yang menggiurkan.
Dalam sebulan, pendapatan dari penjualan garam ini bisa mencapai Rp30 juta hingga Rp40 juta.
Garam sebagai Identitas dan Kebanggaan Krayan
Secara fisik, Garam Krayan memiliki ciri khas yang membedakannya dari garam industri.
Warnanya tidak putih bersih, melainkan cenderung abu-abu.
Teksturnya lebih halus dan lembut, dengan rasa yang tidak terlalu tajam.
Di kalangan masyarakat lokal, garam ini dipercaya memiliki manfaat kesehatan.
Sayur yang dimasak menggunakan Garam Krayan tidak cepat basi, begitu pula daging, ikan, dan sayuran fermentasi yang bisa bertahan lebih lama.
Garam ini dikenal dengan sebutan Garam Tusuk Abu atau Tusuk Abu Longmida dan dijual dengan harga sekitar Rp50.000 per kilogram.
Dengan kemasan sederhana, produk ini telah menembus pasar kota besar hingga ke luar negeri, termasuk Malaysia.
Menariknya, pengelolaan Garam Krayan tidak menganut sistem kepemilikan pribadi.
Produksi dilakukan secara bergilir antar keluarga desa, dan hasil penjualan sepenuhnya menjadi hak Maba Tusuk yang sedang mendapat giliran.
Tradisi yang Terus Menyala dari Perbatasan
Di tengah keterbatasan dan sunyinya wilayah perbatasan, Garam Gunung Krayan menjadi bukti bahwa kearifan lokal mampu bertahan dan memberi kehidupan.
Asap tipis yang terus mengepul dari tungku tua di Long Midang bukan sekadar tanda produksi, melainkan simbol harapan, identitas, dan semangat hidup masyarakat Krayan yang tak pernah padam.
(TribunKaltara.com / Desi Kartika)