Oleh: Juanto Avol, Komisioner Bawaslu Gowa
TRIBUN-TIMUR.COM- Bermula dari sebuah diskusi ringan, menikmati secangkir kopi di bilangan Kwitang, Jakarta Pusat. Duduk melingkar persegi di hadapan meja jati berulir, urat kayu nun indah yang menimbulkan suatu tanya dalam nalar.
Jangan-jangan kayu berkualitas bahan meja ini dari hutan-hutan di dalam sana. Dan adakah hubungan alam tentang peristiwa bencana di beberapa daerah di tanah air.
Jika ditanya, apa hubungannya tentang demokratisasi kepemimpinan di Indonesia?
Konon, demokrasi dirancang sebagai teropong aspirasi kedaulatan dan panglima suara rakyat, sebagai sebuah sistem yang akan mampu menghantarkan rakyat pada kesejahteraan pengelolaan sumber daya alam.
Namun, rakyat kini seakan terperangkap dalam pusaran tiga kekuatan destruktif; kerakusan, kerusakan, dan kerasukan. Benarkah?
Sebenarnya, kalau bicara sifat kerakusan, itu alami naluriyah, jika tak dibentengi, bisa terjerambat dalam kubangan dosa sosial yang bersemayam di dalam sifat manusia. Dan itu kadang muncul ketika ambisi material melebihi batas kebutuhan, seperti ketimpangan menguasai kekayaan alam, di mana satu sampai tiga persen penduduk mengelola sebagian besar aset nasional.
Baca juga: Bawaslu Gandeng Kampus, Anak Muda Diajak Jadi Penyelenggara Adhoc Pemilu
Kalau kita mau mencermati, hal itu memicu eksploitasi sumber daya alam, dan hilangnya sekitar 6,1 juta hektar hutan untuk perkebunan dan tambang.
Dalam konteks demokrasi, pusaran ini dimulai saat proses politik elektoral terganggu oleh kepentingan ekonomi sempit-terapit, yang kadang mengorbankan kesejahteraan bersama.
Dan pusaran itu tak berhenti disana, ia terus berlanjut pada kerusakan lingkungan, budaya, dan sosial.
Belum lagi, rakyat dan negara diterpa kerugian akibat korupsi mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun. Sehingga ini memperlemah redistribusi kekayaan alam dan memicu konflik agraria ditengah masyarakat.
Disusul pula persoalan ketahanan pangan, dari Sabang sampai Merauke yang belum maksimal tercover, sehingga beberapa impor pangan mengancam kemandirian petani.
Padahal, seringkali kita diperbunyikan dalam benak, narasi tentang pemerataan pembangunan dan membuka jutaan lapangan kerja, akan mendorong rasa adil untuk menutupi ketidakseimbangan keadilan terhadap rakyat.
Olehnya, jika ditelisik, peristiwa-peristiwa tadi, dan tanpa pengawasan kuat, maka demokrasi berisiko menjadi alat pembenaran kerusakan, bukan penyeimbang ekologi dan ketahanan pangan.
Dan dari semua itu, puncaknya adalah kerusakan, kerakusan yang bisa menjelma kerasukan bersama bayang-bayang nafsu kolektif itu sendiri yang mampu menguasai dan mendegradasi akal sehat.
Kalaulah kemudian jelmaan potensi demikian terwujud dalam kebijakan yang kontradiktif, privatisasi berlebih, dan utang negara yang berdampak pada rakyat, juga membebani generasi mendatang, maka situasinya masuk mode "warning".
Oleh karenanya, rakyat butuh langkah cepat dan solutif menuju demokrasi yang berimbang agar keluar dari pusaran tersebut dan diperlukan beragam pendekatan holistik.
Maka soal pandangan diatas, salah satunya dibutuhkan beberapa strategi (holistik) tepat.
Idealnya, pertama-tama menggunakan penguatan moral individu. Yaitu kampanye "zuhud dan mujahadah" atau berahlak mulia dan berjuangan untuk membangun integritas pemilih dan calon pemimpin di momentum Pemilu dan Pilkada. Agar melahirkan pemimpin berkualitas, selain dekat kepada rakyat, ia tunduk pada aturan Tuhan dan hukum alamNya.
Hal lain, dibutuhkan reformasi institusi. Ini bicara soal kebijakan pajak progresif kepada orang-orang superkaya, yang menasionalisasi sumber daya strategis secara bertahap, dan semua itu butuh transparansi berbasis digital di APBN via "blockchain" bukan malah sebaliknya, pajak bak dijadikan sapi perah terhadap rakyat kecil.
Berikutnya, dalam urusan kebijakan bernegara kita, peran dan partisipasi rakyat sangat penting dilibatkan, mengingat semua itu, muaranya berkeputusan politik.
Maka diperlukan suatu pemahaman progresif kepada rakyat, tentang sebuah rul model pendidikan politik, literasi dan demokrasi di ruang-ruang komunitas berbasis kewargaan untuk memahamkan kebijakan yang dilahirkan oleh negara terhadap rakyat, seperti tambang dan lingkungan.
Terakhir, tak kalah penting, dari sektor pengawasan global dan lokal. Soal ini jauh lebih pokok, dibutuhkan kolaborasi dengan berbagai lembaga lokal, nasional dan internasional untuk sebuah audit independen, sambil memperkuat posisi KPK sebagai benteng anti korupsi.
Maka dengan pemikiran dan langkah-langkah tersebut, boleh jadi kedepan, demokrasi bukan lagi pusaran kehancuran, melainkan sungai yang mengalirkan kemakmuran berkelanjutan bagi seluruh bangsa.
Tidakkah cukup sebagai fakta, rakyat menyaksikan peristiwa bencana alam di Aceh dan beberapa wilayah disiarkan berbagai media. Longsor memporak-porandakkan perkampungan dan hak hidup warga.
Dan mungkin itu sebuah dampak kerakusan terhadap sumber daya alam, akibat eksploitasi hutan dan memicu perubahan tata guna lingkungan, menyebabkan hilangnya penyangga ekosistem.
Andai kita boleh jujur, bukankah dampak itu melahirkan kerusakan dahsyat ekologis, akibat dari hulu ke daerah hilir aliran sungai (DAS) yang dirusak puluhan ribu hektare?
Sialnya, kerusakan dan ketimpangan itu diperburuk oleh ulah oknum dan korporasi, yang serampangan dalam pengelolaan SDA.
Fakta itu, bolehkah disebut sebuah kerasukan yang muncul saat akal sehat terganggu oleh kepentingan sempit, akibat lambatnya penanganan awal yang pernah dikritik koalisi masyarakat sipil dan pemerhati lingkungan hidup.
Kita mungkin teringat, Gus Dur pernah menegaskan dalam pesannya, "Demokrasi bukan sekadar pemilu, tapi bagaimana kita menjaga kemanusiaan agar tidak dimakan nafsu serakah duniawi".
Guru bangsa itu sebenarnya mengingatkan bahwa tanpa moralitas SDM terhadap SDA, dan demokrasi tanpa arah yang tepat justru mempercepat kehancuran tatanan alam dan masyarakat.
Olehnya kedepan, mungkin diperlukan solusi-solusi holistik berbasis kerakyatan sebagai penguatan pencegahan yang terintegrasi dengan literasi lingkungan dalam pendidikan demokrasi kita.(*)
Kwitang, Jakarta, 22 Desember 2025.