Prabowo Larang Izin Tambang Baru, Bagaimana Nasib WPR Bangka Belitung?
December 22, 2025 06:03 PM

 

BANGKAPOS.COM--WPR Bangka Belitung di Persimpangan Jalan, Antara Larangan Tambang Presiden Prabowo dan Harapan Hidup Penambang Rakyat

Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung hingga kini masih berada di titik krusial.

Di satu sisi, WPR dipandang sebagai solusi legal bagi ribuan penambang rakyat untuk bertahan hidup.

Namun di sisi lain, kebijakan nasional yang tegas dari Presiden Prabowo Subianto soal penghentian izin baru di sektor kehutanan dan pertambangan sepanjang 2025 membuat masa depan WPR di Bangka Belitung kembali dipertanyakan.

Pertanyaan besar pun mengemuka, apakah WPR Bangka Belitung akan ikut terhenti, atau justru dipercepat sebagai jalan tengah antara penegakan hukum dan kesejahteraan rakyat?

Ketegasan Presiden Prabowo dan Dampaknya ke Daerah Tambang

Dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara pada Senin (15/12/2025), Presiden Prabowo Subianto secara tegas memerintahkan penghentian penerbitan dan perpanjangan izin baru di sektor kehutanan dan pertambangan sepanjang tahun 2025.

Prabowo menekankan bahwa seluruh kebijakan, izin, dan produk hukum yang tidak selaras dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 harus ditinggalkan atau diubah.

Pasal tersebut menegaskan bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Pernyataan ini sontak menjadi sorotan, terutama bagi daerah-daerah yang menggantungkan perekonomiannya pada sektor pertambangan rakyat, termasuk Bangka Belitung.

WPR Babel: Sudah Ditetapkan, Tapi Belum Berjalan

Ironisnya, Bangka Belitung sejatinya telah memiliki payung awal WPR. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya menetapkan 123 Wilayah Pertambangan Rakyat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan total luas mencapai 8.568,35 hektare.

Penetapan tersebut merupakan bagian dari 1.215 WPR nasional yang tersebar di 19 provinsi, dengan total luas nasional mencapai 66.593,18 hektare.

Plt. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Suswantono, menjelaskan bahwa Surat Keputusan penetapan WPR per provinsi telah diteken oleh Menteri ESDM sejak 21 April 2022.

Namun, meski status WPR telah ditetapkan secara nasional, implementasinya di daerah khususnya Bangka Belitung belum berjalan maksimal.

Proses administrasi, penyesuaian tata ruang, hingga penerbitan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) masih menjadi pekerjaan rumah besar.

Surat Keputusan tentang wilayah pertambangan per provinsi telah diteken oleh Menteri ESDM pada 21 April 2022 lalu.

Dimana tercatat ada 19 provinsi yang memiliki WPR dengan jumlah blok dan luas yang beragam, antara lain:

  1. Banten (1 WPR) dengan luas 9,71 hektare
  2. Bangka Belitung (123 WPR) 8.568,35 hektare
  3. Yogyakarta (138 WPR) 5.600,05 hektar;
  4. Gorontalo (63 WPR) 5.502,42 hektar;
  5. Jambi (117 WPR) 7.030,46 hektar
  6. Jawa Barat (73 WPR) 1.867,22 hektar
  7. Jawa Timur (322 WPR) 6.937,78 hektar
  8. Kalimantan Barat (199 WPR) 11.848 hektar
  9. Kepulauan Riau (4 WPR) 127,04 hektar
  10. Maluku (2 WPR) 95,21 hektar
  11. Maluku Utara (22 WPR) 315,9 hektar
  12. Nusa Tenggara Barat (60 WPR) 1.469,84 hektar
  13. Papua (25 WPR) 2.459,16 hektar
  14. Papua Barat (1 WPR) 3.746,21 hekntar
  15. Riau (34 WPR) 9.216,96 hektar
  16. Sulawesi Tengah (18 WPR) 1.407,58 hektar
  17. Sulawesi Utara (1 WPR) 30,86 hektar
  18. Sulawesi barat (3 WPR) 24,91 hektar
  19. Sulawesi Utara (9 WPR) 335,5 hektar.

Percepatan dokumen pengelolaan

Lebih lanjut, Bambang mengatakan bahwa sejak tahun 2022 hingga 2023, Ditjen Minerba juga telah menyusun pengelolaan WPR yang telah diusulkan dengan jumlah blok WPR sebanyak 270.

"Tindak lanjut yang dilakukan pada tahun 2024 ini adalah kami akan melakukan percepatan penetapan dokumen pengelolaan WPR 6 provinsi yang disusun pada tahun 2023 melalui Kepmen ESDM, enam provinsi tersebut di antaranya Jambi, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Riau, Maluku, dan Sulawesi Tengah," imbuhnya.

Selain WPR, Bambang juga mengungkapkan bahwa terkait Izin Pertambangan Rakyat (IPR), pemerintah telah menerbitkan sebanyak 82 IPR dengan total luas mencapai 62,31 hektar.

Adapun permohonan IPR tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2021, dan pada awal tahun ini perizinan IPR sudah bisa dilakukan melalui Sistem Online Single Submission (OSS).

"Berdasarkan surat edaran dari Kementerian Investasi BKPM Nomor 428/B.1/A.8/2023 tanggal 21 Desember 2023, bahwa pelaksanaan pelayanan

DPRD Babel Desak Kabupaten Bergerak Cepat

Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Didit Srigusjaya, menegaskan bahwa kunci percepatan WPR berada di tangan pemerintah kabupaten.

Menurutnya, DPRD provinsi tidak memiliki kewenangan mengusulkan data WPR, melainkan hanya menjembatani aspirasi masyarakat.

“Jangan salahkan provinsi. Kami DPRD tidak punya hak mengusulkan data. Tugas kami memperjuangkan aspirasi rakyat, bukan mengajukan lokasi,” ujar Didit.

Ia meminta pemerintah kabupaten segera berkoordinasi dengan penambang rakyat untuk menentukan blok-blok yang benar-benar memiliki potensi timah.

DPRD Babel bahkan memberikan tenggat waktu kepada Kabupaten Bangka untuk menyerahkan data WPR. Setelah itu, pemerintah provinsi berencana bertemu langsung dengan Kementerian ESDM guna mempercepat proses.

Namun hingga kini, beberapa daerah seperti Bangka Barat dan Belitung disebut belum menyerahkan data lengkap.

Kritik Keras: Kabupaten Dinilai Lamban

Anggota DPRD Provinsi Bangka Belitung, Maryam, melontarkan kritik keras terhadap Pemerintah Kabupaten Bangka yang dinilai lamban dalam mengajukan WPR.

“Kabupaten Bangka ini lelet. Semua daerah lain sudah bergerak, tapi mereka belum. Kami heran kenapa tidak cepat,” tegas Maryam.

Politisi Demokrat ini juga mengusulkan agar pemerintah pusat tidak mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) baru kepada perusahaan besar sebelum WPR benar-benar tuntas.

“Jangan dulu keluarkan IUP ke PT Timah. Biarkan WPR yang ada kandungan timahnya dikelola rakyat,” ujarnya.

WPR sebagai Solusi Tambang Ilegal

Di sisi lain, pemerintah daerah melihat WPR sebagai solusi utama untuk mengatasi maraknya tambang ilegal.

Bupati Bangka Tengah, Algafry Rahman, menegaskan bahwa penegakan hukum oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan dan Pertambangan (PKH) harus dibarengi dengan solusi nyata bagi masyarakat.

“Kalau WPR dan IPR sudah terbit, masyarakat punya kepastian hukum. Mereka tahu mana yang boleh ditambang dan mana yang dilarang,” jelas Algafry.

Ia menyebut pemerintah daerah terus mendorong provinsi dan Kementerian ESDM agar segera menerbitkan WPR yang telah diusulkan.

Satgas PKH dan Ancaman Kerugian Triliunan Rupiah

Sementara proses WPR masih berjalan di atas kertas, penertiban tambang ilegal terus dilakukan.

Satgas PKH Halilintar yang dipimpin Mayjen TNI Febriel Buyung Sikumbang menertibkan aktivitas tambang ilegal di Kabupaten Bangka Tengah dan mengamankan 315,48 hektare lahan tambang ilegal.

Menurut Satgas, aktivitas tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara hingga Rp12,9 triliun, baik dari aspek kehilangan sumber daya alam maupun kerusakan lingkungan.

Penertiban ini mendapat dukungan penuh dari aparat TNI, Polri, kejaksaan, dan pemerintah daerah.

Bangka Barat dan Bangka Ajukan Ribuan Hektare WPR
Pemerintah Kabupaten Bangka Barat telah mengajukan sekitar 5.200 hektare WPR ke Pemerintah Provinsi Bangka Belitung.

Bupati Bangka Barat, Markus, menyebut pengajuan ini sebagai langkah konkret untuk membantu masyarakat menambang secara legal.

“Masalah pertambangan ini jadi fokus kami. WPR adalah solusi untuk kesejahteraan masyarakat,” kata Markus.

Sementara itu, Kabupaten Bangka mengusulkan 31 titik lokasi WPR dengan total luas sekitar 750 hektare yang tersebar di lima kecamatan.

Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bangka, Mulyarto Kurniawan, menjelaskan bahwa usulan berasal dari desa, camat, dan forum penambang rakyat, lalu diverifikasi agar tidak bertabrakan dengan kawasan hutan dan sempadan sungai.

Gubernur Babel Dorong Percepatan WPR

Gubernur Bangka Belitung, Hidayat Arsani, secara terbuka mendorong percepatan penerbitan WPR dan Perda terkait.

Menurutnya, tingginya harga timah dunia yang mendekati 43.000 USD per metrik ton seharusnya menjadi momentum bagi kesejahteraan masyarakat.

“Kalau harga timah bagus, WPR harus segera dibuat. Perda harus dipercepat,” ujarnya.

Harga Timah Tinggi, Penambang Tetap Terjepit

Di tengah harga timah dunia yang tinggi, masyarakat penambang justru mengeluhkan harga beli timah yang masih rendah.

Wakil Ketua DPRD Babel, Beliadi, menilai kondisi ini sebagai ketidakadilan.

“Dengan harga dunia hampir 43.000 USD, seharusnya harga beli di masyarakat di atas Rp450 ribu per SN. Faktanya masih Rp300 ribu, bahkan di bawah,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan PT Timah agar tidak melaporkan kerugian di tengah selisih harga yang besar.

WPR di Persimpangan Kebijakan

Kini, WPR Bangka Belitung berada di persimpangan besar. Di satu sisi, kebijakan Presiden Prabowo menekankan pengetatan izin tambang demi kelestarian lingkungan. Di sisi lain, masyarakat penambang menunggu kepastian hukum agar tidak terus berada di bayang-bayang kriminalisasi.

Bagi Bangka Belitung, WPR bukan sekadar kebijakan teknis pertambangan, melainkan pertaruhan antara penegakan hukum, kelestarian lingkungan, dan denyut ekonomi rakyat kecil.

Apakah WPR akan menjadi solusi atau justru kembali tersandera birokrasi, waktu dan keberanian kebijakan yang akan menjawabnya.

(Bangkapos.com/Rizky Irianda Pahlevy/Bangkapos.com/Rifqi Nugroho/Zulkodri)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.