Tribunlampung.co.id, Jakarta - Roy Suryo Cs mengajukan permintaan uji laboratorium forensik independen terhadap ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
Melansir Warta Kota, kuasa hukum Roy Suryo Cs, Ahmad Khozinudin mengatakan uji tersebut diperlukan agar hasilnya kredibel, akuntabel, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta tidak menyisakan klaim sepihak di ruang publik.
“Kami ingin hasil yang bisa diterima semua pihak. Tidak ada lagi narasi ini mewakili siapa, itu tidak mewakili siapa,” kata Ahmad Khozinudin di Mapolda Metro Jaya, seperti ditayangkan Kompas TV, Senin (22/12/2025),
Khozinudin menjelaskan, dalam gelar perkara khusus, timnya memang diberi akses untuk melihat barang bukti berupa dokumen ijazah S1 UGM dan ijazah SMA.
Namun, akses tersebut sebatas melihat, bukan memeriksa apalagi meneliti.
“Konteksnya hanya memastikan bahwa dokumen itu benar-benar disita penyidik Polda Metro Jaya, bukan berada dalam penguasaan Saudara Joko Widodo dan bukan pula diperlihatkan ke relawan Projo di Solo,” jelasnya.
Ia menepis framing yang berkembang di masyarakat bahwa dengan diperlihatkannya ijazah tersebut, perkara otomatis selesai atau keaslian ijazah telah terkonfirmasi.
“Itu keliru. Pembuktian ada di persidangan. Penafsiran bukti ada pada putusan hakim sampai inkrah di Mahkamah Agung. Itulah hukum acara pidana kita,” tegas Khozinudin.
Meski hanya melihat sekilas, Khozinudin mengklaim keyakinan timnya justru semakin menguat.
“Kami makin yakin ijazah itu bermasalah. Mengutip klien kami, Pak Roy Suryo, kesimpulannya tetap: 99,9 persen palsu,” ujarnya.
Ia menyoroti aspek fisik ijazah yang disebut identik dengan dokumen yang selama ini beredar di media sosial, termasuk foto seorang pria berkacamata dengan kumis tipis.
“Itu bukan foto Joko Widodo. Bahkan Ruslam Effendi saat melihat langsung mengatakan ke penyidik: ‘Pak polisi, ini bukan foto Jokowi, ini palsu,’” klaim Khozinudin.
Khozinudin lalu memaparkan alasan kuat mengapa uji forensik independen menjadi krusial.
Ia menyinggung sejumlah “anomali” dalam penanganan perkara oleh kepolisian, dengan rujukan utama kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
“Kasus itu awalnya dinarasikan sebagai tembak-menembak, lengkap dengan hasil forensik internal Polri. Tapi setelah diuji ulang oleh forensik UI, hasilnya berbeda total. Dari situ terbongkar pembunuhan berencana,” paparnya.
Menurut Khozinudin, preseden tersebut membuktikan hasil forensik internal kepolisian tidak selalu final.
“Kalau dalam kasus penghilangan nyawa saja bisa terjadi pembohongan publik, apalagi hanya soal ijazah,” ujarnya tajam.
Untuk menghindari dugaan intervensi kekuasaan, Khozinudin menyatakan pihaknya telah menyiapkan surat resmi permohonan uji forensik independen.
Dua institusi yang diusulkan adalah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Laboratorium Forensik Universitas Indonesia (UI).
“Kenapa tidak ke luar negeri? Karena kami mencintai negeri ini. Kami ingin masalah ini diselesaikan dengan mekanisme internal, bukan jadi aib internasional,” katanya.
Ia mengakui uji forensik independen tidak diatur secara eksplisit dalam KUHAP.
Namun, ia menilai hal itu sah sepanjang menjadi kebijakan penyidik—sebagaimana pembukaan segel barang bukti dan penunjukan ijazah kepada tersangka yang juga tidak diatur KUHAP, namun tetap dilakukan.
“Sekarang tinggal keberanian dan kebijakan kepolisian,” tandas Khozinudin.
Ia menutup pernyataannya dengan nada keras.
“Kalau ini tidak diambil, maka inilah potret sulitnya mencari keadilan di negeri ini,” pungkasnya.
Polemik ijazah Jokowi pun dipastikan belum mencapai titik akhir.
Sorotan publik kini tertuju pada satu hal: apakah Polri akan mengabulkan permintaan uji forensik independen atau tidak.
Wakil Ketua Umum Peradi Bersatu, Lechumanan, yang mengikuti jalannya gelar perkara khusus mengatakan suasana gelar perkara khusus mendadak berubah hening ketika ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo akhirnya diperlihatkan secara langsung kepada tiga tersangka Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma alias dokter Tifa, beserta kuasa hukum mereka.
Saat itu, katanya tidak ada perdebatan, tidak ada bantahan, tak ada narasi teknis melainkan hanya diam.
Lechumanan menyebut reaksi para tersangka pada sesi kedua, sangat berbeda dibanding sesi sebelumnya.
“Barangnya sama, tapi reaksinya berbeda. Ketika tiga tersangka melihat langsung, tidak ada lagi kata-kata. Rismon diam. Tidak ada komentar,” ujar Lechumanan.
Menurut dia, perubahan sikap itu bahkan disorot kuasa hukum dari kubu Roy Suryo sendiri.
Salah satunya Abdullah Alkatiri, penasihat hukum dokter Tifa, yang melontarkan satu kata bernada reflektif.
“Saya sampai bilang ke Bang Alkatiri, ‘Bang, enggak ada dilihat lagi?’ Dia jawab, ‘Insaf.’ Insaf,” kata Lechumanan menirukan pernyataan Alkatiri.
Kata “insaf” itulah yang menurut Lechumanan menjadi penanda penting dalam gelar perkara tersebut.
“Insaf itu apa artinya? Ya sudah mengakui. Itu yang saya tangkap,” ujar Lechumanan lugas.
Lechumanan menilai polemik ijazah Jokowi sejatinya adalah pembuktian sederhana yang menjadi rumit karena narasi yang menyesatkan publik.
“Ini sebenarnya sederhana. UGM bilang asli, pihak Jokowi bilang asli. Tapi semua itu dibantah dengan metode yang katanya ilmiah, padahal orangnya tidak pernah memegang ijazah asli,” tegasnya.
Ia bahkan menuding salah satu pihak yang selama ini tampil sebagai ahli justru melakukan manipulasi.
“Kami memandang ini bukan ahli yang objektif, tapi ahli memanipulasi. Faktanya sekarang dia tersangka,” kata Lechumanan.
Lechumanan menepis anggapan bahwa penetapan tersangka dilakukan secara serampangan.
Ia menegaskan seluruh tahapan hukum telah dilalui secara ketat.
“Ini bukan tiba-tiba. Ada konsultasi hukum, laporan polisi, penyelidikan, baru penyidikan. Kalau tidak ada peristiwa pidana, tidak mungkin naik,” jelasnya.
Ia menambahkan, proses tersebut melibatkan setidaknya 22 ahli dari berbagai bidang.
“Kalau ini dianggap sembrono, tidak mungkin melibatkan puluhan ahli,” ujarnya.
Lechumanan menekankan satu titik krusial yang selama ini luput disadari publik: analisis dilakukan tanpa pernah memegang dokumen asli.
“Ini poin paling penting. Aslinya saja tidak pernah dipegang, tapi berani menyatakan palsu ke publik. Itu yang terjadi,” katanya.
Menurut dia, gelar perkara yang memperlihatkan ijazah secara langsung menjadi titik balik psikologis dalam polemik panjang tersebut.
“Begitu barangnya diperlihatkan, semua sunyi. Tidak ada lagi narasi besar,” tutup Lechumanan.
Baca juga: Lisa Mariana Ingin Bertemu Langsung dengan Istri Ridwan Kamil